tag:blogger.com,1999:blog-58072465681493635342024-02-08T03:14:42.221-08:00Transparent ButterflyI will fly around the world even though no one could see meZi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.comBlogger38125tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-85328097436521236622021-05-03T02:37:00.001-07:002021-05-03T02:50:29.236-07:00PatahKemarin, aku patah hati. Patah yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Katanya, waktu bisa dengan mudahnya menghapus semua rasa. Tapi, lihat, aku masih berdiri di tempat yang sama, menatap punggung senja yang enggan menampakkan cahayanya lagi. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa aku dihapus dengan begitu mudahnya? Sementara aku tidak bisa menghapusnya barang satu memoripun. Bagaimana bisa aku menginginkan ia dalam hidupku sebegitu besarnya? Sementara ia sebegitu tidak pedulinya padaku. Seringkali patah ini membuatku berpikir, apakah aku tidak berharga di matanya? Hey, pria yang di sana. Setelah semua yang kita lalui, memangnya apa yang tidak kamu temukan padaku?<div><br /></div><div>Tapi, tenang saja. Aku tidak marah. Dengan patah ini, aku belajar membangunkan diriku sendiri. Membangunkan diriku dari tidur yang lama dan kembali menemukan apa yang telah kutinggalkan. Sebagai orang yang sendu dan sangat senang memaknai hidup dengan tulisan, patah ini pelan-pelan menumbuhkan kembali cabangnya. </div>Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-61638878682131094212017-09-06T05:43:00.000-07:002019-07-14T21:52:55.430-07:00Sampai Aku JatuhDia, yang berdiri di depan pintu kelasnya sambil menggenggam sebuah handphone, aku mengenal pria itu. Tampak sesekali ia tersenyum ramah ketika salah satu teman menyapanya. Sejurus kemudian, ia pergi dari depan pintu kelasnya sambil terburu-buru, mengangkat telpon dengan wajah yang sedikit bingung. Entah apa yang ada dalam percakapan itu, namun ia tampak kewalahan. Mungkin ada suatu masalah yang harus ia selesaikan sehingga ia pergi dengan tergesa-gesa. Aku masih memandanginya dari kejauhan. Dengan mengeratkan pelukan pada buku di dadaku, aku tersenyum karena akhirnya aku mendapat kesempatan lagi untuk melihatnya. Meski hanya dari kejauhan, melihat punggungnya saja sudah membuatku bahagia. Apa karena punggung itu menyiratkan sesuatu? Sebab, semua orang akan berpikir bahwa ia pria yang tegar dan penuh semangat. Tapi, setiap kali aku melihat punggungnya, aku bisa melihat sebuah kerapuhan di sana. Dibalik kacamatanya yang bersinar itu, aku bisa melihat matanya yang sendu. Aku bisa melihat sebuah kelembutan. Dan bahkan, setiap kali ia tertawa lebar dengan menunjukkan deretan giginya, seketika aku menemukan alasan mengapa aku berada di sini. Semua itu tanpa sadar membuatku tersenyum sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Pria itu... sejauh mana aku akan jatuh cinta padanya?<br />
<div>
Hanya dengan memperhatikan gerak-geriknya saja sudah membuat hariku jauh lebih bahagia.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku memperhatikan jam tanganku. Sontak mataku melebar ketika menyadari bahwa aku sudah hampir telat masuk ke kelas. Dengan langkah kaki yang dipercepat, aku segera menuju ke kelas manajemenku. Sebenarnya aku sudah mulai lelah dengan materi yang diberikan oleh dosenku belakangan ini. Tapi, berhubung setelah ini kami akan melewati ujian akhir sekolah, maka aku pikir apa boleh buat... Bertahan sedikit lagi saja tidak apa-apa, kan? Selama pelajaran berjalan pun aku hanya menangkap sekitar 50% dari materi yang disampaikan. Sisanya? Sudah jelas kan, aku pasti menggambar di buku sketsaku. Itu yang kulakukan jika aku mulai bosan dengan pelajaran.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sesekali aku melihat ke arah luar jendela. Melihat betapa lebarnya langit yang terbentang, seakan aku bisa merasakan sebuah kebebasan di atas sana. Mungkin terbang itu menyenangkan. Tapi kamu tau apa yang lebih bisa membuatku terbang dibanding langit yang biru? Itu adalah mata coklatnya ketika kami berdua saling menatap. Kami berdua tersenyum, saling mengkhawatirkan, dan memang itulah yang membuat kami berdua merasa senang. Acara bulan Oktober yang lalu membuat kami saling bertanya satu sama lain, "Apakah kamu sampai di rumah dengan selamat?" Menemukan kekhawatiran itulah yang membuat perasaanku menghangat. Aku merasa ia memperhatikanku. Namun, sayang sekali tuan, aku lebih banyak memperhatikanmu daripada ketika kau memperhatikanku. Aku adalah seorang pengamat yang lebih baik darimu. Meski terkadang daya analisaku masih kurang kuat dari milikmu, tapi bukankah dengan begitu kita bisa saling melengkapi?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ah, sial, aku mulai mengada-ada. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jam pelajaran selesai. Aku dengan semangat memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas, kemudian pergi menuju kantin. Sambil sedikit berharap ada kehadirannya di sana, aku berjalan dengan bersenandung kecil. Sesekali aku menutup mataku, merasakan semilir sejuknya angin di kota ini. Suatu saat aku akan menemukan alasan mengapa aku tidak bisa meninggalkan kota ini selain karena aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
"oi! Sini!" teriak salah satu temanku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Mendengar teriakan itu aku langsung menoleh. Dan benar saja, itu memang temanku yang berusaha memanggilku untuk datang ke meja mereka. Aku pun menghampiri mereka dengan tersenyum riang. Tanpa sengaja aku melihat sosoknya di sana. Iya! Dia benar ada di sana! Aku tidak salah lihat. Ternyata dia sungguhan ada di sini.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Baru beres kuliah ya?" Tanya salah satu temanku yang lain.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Iya nih hehe" Aku tersenyum kikuk. Aku menemukan ia memperhatikanku, kemudian mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Aku ikut merasa malu ketika melihat tingkah malu-malunya itu. Pipiku memerah.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Selama teman-temanku mengobrol, aku hanya bisa diam dan sesekali ikut tertawa. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana jika ia ada di sini. Ia membuatku gugup. Hal yang menyenangkan itu ketika ia mendapat giliran bercerita. Caranya bercerita itu sungguh lucu. Ekspresinya, tertawanya, cara melawaknya, rasanya aku tidak ingin berkedip. Mataku tidak bisa melihat kemana-mana lagi. Iya, hanya terpaku pada seorang pria berjaket merah itu. Andai aku bisa memberitahumu bagaimana selama ini aku melihatmu. Apakah kamu akan mengerti perasaanku ini? Teman-temanku mungkin tidak tahu. Mereka hanya membuat kita berdua sebagai bahan ejekan. Dipasang-pasangkan tanpa memikirkan perasaan dua korbannya. Tapi mereka juga tidak tahu, kalau dibalik itu pun, aku memendam rasa pada pria yang mereka pasangkan denganku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pria itu tidak terlalu tampan menurutku. Bahkan biasa saja. Mungkin aku memang sedikit memberi nilai plus pada pria-pria berkacamata. Namun bukan berarti aku bisa menyukai siapapun pria yang berkacamata kan? Apalagi, sejujurnya aku lebih menyukainya ketika tanpa kacamata. Mengapa? Tentu saja karena aku bisa melihatnya dengan kondisi apa adanya, kondisi dimana aku bisa menatap matanya dengan jelas. Aku bisa memperhatikan matanya yang kecil, mata sendunya, atau bahkan mata lelahnya ketika baru saja menyelesaikan tugas dari dosen. Semakin aku mengetahui kebiasaannya, aku semakin jatuh padanya. Perasaan ingin merawat, melindungi, memperhatikannya, itu semua nyata. Melihatnya bisa tersenyum bahagia pun bisa membuatku ikut bahagia melihatnya. Senyum miliknya itu ajaib. Sungguh. Di mataku, ia yang biasa saja pun bisa mengalahkan tampannya aktor drama korea. Oke, bagian ini aku terlalu melebih-lebihkan. Tapi aku serius, dia tampan dengan dirinya yang apa adanya. Dan aku akan terus memperhatikannya, sampai aku jatuh pada palung hatiku yang terdalam.</div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-17702294580725822152016-02-07T01:02:00.002-08:002016-09-07T06:10:24.981-07:00Dia BintangDia pria yang aneh. Lucu. Kadang menyebalkan.<br />
<br />
Bukan kadang, sih. Justru sangat-sangat menyebalkan. Sok cuek sekali.<br />
<br />
Pemalas. Benar-benar pemalas. Tapi aku sangat tahu, begitu ada sesuatu yang menarik hatinya, atau ada sesuatu yang membuatnya merasa terpacu, dia benar-benar melakukannya dengan sepenuh hati. Dia cukup ambisius di mataku. Bahkan dia sendiri pun mungkin tidak sadar dengan hal itu.<br />
<br />
Apalagi, ya?<br />
<br />
Begitu banyak hal yang tidak bisa kujabarkan satu persatu tentangnya. Terlalu banyak hal yang ingin aku ceritakan, namun berujung kupendam sendiri. Dia adalah seseorang yang selalu ingin kudengar kisahnya, orang yang selalu ingin kutatap matanya dalam-dalam, orang yang selalu ingin aku ajak kemanapun tempat yang menyenangkan, berbagi apapun dengannya. Meskipun itu hal yang menyedihkan, semuanya tidak akan terasa seperti apa yang seharusnya. Begitu pun dengan rasa bahagia. Dia mengajarkanku bagaimana caranya berbahagia dengan sederhana. Dia juga terus mengingatkanku bahwa rasa sedih itu akan ada dan membuatku percaya bahwa kita akan tetap baik-baik saja karenanya.<br />
<br />
Dan terus saja, semua yang ia ajarkan, semua kesederhanaan yang ada padanya berhasil membuatku jatuh cinta setiap harinya. Dalam diam pun rasa itu terus saja berbunga. Kalaupun suatu saat bunga itu layu, sosoknya tahu bagaimana cara ia menanam bibit itu kembali. Dia selalu berhasil. Meskipun hanya dengan mendengar kabar tentangnya, atau mendengar suaranya, atau bahkan secara tidak sengaja bertemu dengannya dalam mimpi, aku akan terus jatuh cinta padanya. Berulang-ulang.<br />
<br />
Dia adalah bintang. Benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri, seperti matahari. Senyumnya manis, apalagi tawa lebarnya. Sebab dengan seperti itu, ia akan tampak lebih seperti bintang atau matahari, membuat siapapun yang melihatnya merasa hangat. Tak terkecuali aku. Sampai kapanpun, senyuman itu akan menjadi favoritku. Aku ingin melihatnya sekali lagi, dan terus, lagi, hingga akhirnya aku yang akan menjadi salah satu alasannya tersenyum. Dengan begitu, aku pun menjadi tahu, bahwa aku adalah bulan untuknya. Menjadi benda langit yang hanya bisa memancarkan cahaya miliknya. Membuatnya ikut sadar, jika ia bersinar, maka aku pun begitu.<br />
<br />
Belum cukup puas bercerita tentangnya. Aku tidak tahu bagaimana caraku mengatakan bahwa dirinya begitu berarti buatku, atau sebesar apa aku mencintainya, sebesar apa ketakutanku dan ke-tidaksiapanku untuk kehilangan sosoknya, semuanya begitu sulit untuk dituangkan dalam sebuah kalimat. Semua tentangnya adalah buku yang selalu ingin kubaca. Aku mencintainya sebagai dirinya, yang tidak akan terlihat berubah sampai kapanpun, seperti perasaanku padanya.<br />
<br />
<br />Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-52806208951834114782016-02-05T03:44:00.000-08:002016-02-05T03:44:21.116-08:00Hujan dan Langit<div class="MsoNormal">
Kadang aku berpendapat bahwa hujan dapat meredam semuanya.
Membasahi dan membersihkan apa yang bahkan tidak dapat dikikis oleh waktu.
Namun di sisi lain, hujan adalah sebuah perkara sulit. Ia tidak menyembuhkan
apa-apa.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Suara itu, suara hujan, kembali meredam senandung kecilku
dan meninggalkan jejak basah di rok seragam sekolahku. Aku mencoba ikut memikirkan
apa yang sedang dirasakan olehnya sampai-sampai ia bersedih dan terlihat sangat
marah. Ia, langit, tidak bisa henti-hentinya menangis dan bergemuruh. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Maafkan
aku. Dengan pikiranku yang sedikit kalut, kali ini aku tidak bisa memikirkan
apapun tentang hujan seperti biasanya. Ia sudah cukup menorehkan luka. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebab mereka sangat ajaib. Air-air itu seakan
memiliki sihir. Menyeretku kembali pada ruang waktu, kemudian mengingatkanku
pada hal yang tidak sepatutnya diingat. Sungguh, bukan maksudku untuk
menghindari apapun. Hanya saja segala memori yang datang dan pergi, terasa
begitu halus dan menyakitkan. Perlahan tapi pasti, entah dari arah mana, tiba-tiba
saja ia menamparku. Begitulah pengandaiannya. Tapi aku hanya melebih-lebihkan,
jadi lupakan saja. Intinya hujan itu sangat menyakitkan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku masih berdiri di depan koridor sekolah. Sedikit berharap
ada seseorang yang meminjamkan payungnya untukku. Atau bisa saja, setelah aku
membawa pulang payung itu, aku akan bertemu dengannya lagi besok.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Klise, bukan? Salahkan hujan. Mengapa karenanya semua
menjadi begitu melankolis?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jam menunjukkan pukul 5 sore. Kalau aku tidak segera pulang,
aku akan melewatkan makan malam favoritku hari ini. Ditambah lagi, Ibuku yang mudah
khawatir itu akan memasang wajah cemberutnya nanti. Mungkin pada awalnya itu tampak
menggemaskan, tapi sungguh, itu pertanda buruk!</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dengan meneguhkan hati, aku pun memejamkan mataku. Otakku
penuh dengan perdebatan antara iya dan tidak. Antara aku harus memikirkan
konsekuensi atau justru membiarkannya mengalir begitu saja. Berusaha tidak
peduli, yang penting aku bisa pulang sekarang. Aku lebih tidak bisa membayangkan
bagaimana Ibuku menangis karena khawatir ataupun makanan favoritku menangis
karena tidak dimakan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku pun membuka mataku, kemudian melangkahkan kakiku dari
lantai koridor sekolah. Tidak peduli sepatuku akan basah nantinya. Tidak peduli
bagaimana jika aku terjatuh di kubangan berlumpur mana saja. Tidak peduli
apakah aku akan terkena flu atau tidak. Aku ingin pulang. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku berteriak dan mencoba berlari menembus hujan. Tapi
gagal. Ada sesuatu yang menahan tasku, lalu menarikku sehingga aku terjungkal dan
jatuh ke belakang.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sora. Lagi-lagi dia berulah. Aku melotot sebal dan mendorongnya
dengan kesal. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Minggir! Aku ingin pulang!” bentakku padanya dan mulai
mencoba berlari menembus hujan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ucapanku tidak digubris olehnya. Ia justru kembali menahan
tasku dan menarikku lebih jauh. Untung saja kali ini aku masih bisa berdiri di
atas kedua kakiku. Tapi perlakuannya itu sungguh membuatku kesal.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Di sini saja. Masih hujan, tuh.” Gumamnya tanpa melihatku.
Ia masih memandang kosong ke arah hujan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku mendengus.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“aku ingin pulang.” Ucapku lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ia menoleh padaku dan menaikkan satu alisnya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Masih hujan.” Tukasnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Pulang!” </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Hujan.”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Pulaaang!” teriakku padanya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ia pun hanya menghela napas, kemudian memasukkan satu
tangannya ke dalam saku jaket biru dongkernya. Ia kembali memandangi hujan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Hening. Tidak ada siapapun di antara kami yang berminat
untuk memulai percakapan. Mungkin ia sudah tenggelam dalam pikirannya.
Sedangkan aku, hanya melihat punggungnya yang terhalang tas sekolahnya. Aku
menerka apa yang sedang dipandangnya, atau, bagaimana ekspresinya saat ini
ketika melihat hujan? Apa terlihat sendu sepertiku? Apa ia punya kenangan pahit
dengan hujan? Dibanding itu, sebenarnya aku lebih tertarik dengan punggung
miliknya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Punggung itu pernah menopangku. Aku yang dulu pernah
terjatuh dari tangga, pernah digendong olehnya. Aku masih ingat bagaimana
kakiku yang terkilir dan susah untuk dibuat berjalan, ia datang dengan berlari
untuk membantuku berjalan. Dan Sora, yang kukenal sebagai orang yang tidak
sabaran, akhirnya memutuskan untuk menggendongku menuju UKS karena tidak
sanggup menungguku berjalan dengan sangat pelan. Aku juga masih sangat ingat
bagaimana harum rambutnya. Aroma jeruk. Aku tidak tahu <i>shampoo</i> macam apa yang sudah dipakainya, tapi aromanya sungguh
menyenangkan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku pun tahu bahwa jeruk adalah buah favoritnya juga. Kala
itu, jam istirahat pertama setelah pelajaran olahraga, aku lupa membawa bekalku.
Sora datang memberikanku kotak bekalnya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Makan lah! Aku tidak suka lauknya.” Ucapnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tentu saja aku marah karena aku tahu ia berbohong. Selama
ini ia menyiapkan bekalnya sendiri. Tidak mungkin jika ia tidak menyukai lauk
yang sudah ia buat sendiri, bukan? Ia pun memintaku untuk menyuapinya.
Lagi-lagi aku marah. Dan ia pun hanya tertawa dan memberiku jeruk.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Aku lebih suka stroberi.” Ungkapku ketus. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ia hanya tertawa.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Aku suka jeruk. Jeruk atau stroberi, yang penting kamu
tidak mengeluh lapar lagi.” Katanya. Ia meletakkan buah jeruk itu di atas
kepalaku. “awas jatuh,” lanjutnya, yang kemudian tersenyum dan meninggalkanku.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku tidak mengerti mengapa aku diberi buah jeruk olehnya.
Apa buah jeruk bisa menunda lapar? Apalagi dengan senyum itu. Aku tidak tahu
mengapa senyumnya tampak sangat berbeda. Dan, yah, aku lebih tidak mengerti,
apa aku pernah mengeluh lapar di depannya?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“hei.” Sapanya. Ia membuyarkan semua lamunanku tentangnya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dengan posisi yang tidak berubah, dengan masih memandang
hujan, ia mencoba memulai percakapan denganku.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Aku tahu perihal hujan.” Ungkapnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku terdiam. Mataku melebar mendengar itu. Padahal sudah
kututup rapat-rapat sehingga tidak ada siapapun yang bisa menyadarinya.
Lagipula perasaan itu sudah sangat lama. Perasaan yang kuatur sedemikian rupa sehingga
tampak sudah menguap dan hilang, kini ia jabarkan dengan gamblang di depanku.
Aku berusaha lupa dengan bersikap bahwa aku sudah lupa. Ia mengatakannya dengan
halus, tapi aku tahu ke mana inti pembicaraan ini.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Tahu apa?”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku pura-pura tidak tahu saja. Toh, ia tidak melihatku tepat
di kedua mataku. Ia tidak akan tahu bahwa aku berbohong atau tidak, bukan? </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Kouu.”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Mataku melebar untuk kedua kalinya. Pandanganku mulai
mengabur. Punggung Sora dan hujan, aku tidak bisa membedakannya. Sontak aku
mengusap kedua mataku yang mulai basah
entah karena apa. Sungguh, aku tidak ingin mengakui bahwa ini air mata. Apalagi
hanya karena mendengar nama itu. Aku tidak menangis. Kouu, yang berarti hujan,
aku sangat heran mengapa nama itu terdengar sangat menyakitkan saat diucapkan
bersamaan dengan suara hujan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku tidak mau mengingatnya. Aku sudah lupa. Aku berusaha
mengatakan bahwa aku sudah lupa. Memori itu, membuat dadaku terasa sakit dan
beku. Untuk beberapa saat ia tidak berdetak. Tapi untuk beberapa saat, ia
menyentak sangat keras. Kau tahu? Perasaanku sudah beku, keras, terasa tidak
berdenyut. Tapi perih itu masih sangat betah bersemayam di dalamnya. Membuatku
menerka, kehangatan macam apa yang bisa melelehkan semua ini? Kecuali jika itu
hujan. Ia akan luntur terbawa hujan. Kubilang hujan adalah perkara sulit. Tapi
nyatanya, hujan yang kuharapkan untuk melunturkan hati yang beku, kini sudah
tak ada lagi di tempat yang sama. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Memangnya apa yang kamu lihat dari berandalan itu?”
tanyanya. Ia membalikkan badannya dan menatapku tajam.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku mencoba memahami pertanyaannya. Kedua mata itu membuatku
ikut memikirkan apa yang sedang dirasakan olehnya sampai-sampai ia bersedih dan
terlihat sangat marah. Aku pun tidak tahu. Seharusnya aku menjawab apa? Hatiku mengatakan
bahwa aku mencintai Kouu, tapi otakku sama sekali tidak menyetujui perasaan itu.
Jadi, apa yang harus kukatakan? Pada akhirnya, aku tidak punya alasan mengenai
bagaimana caraku mencintai Kouu, meskipun ia seseorang yang begitu jelek kesannya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sora menghela napas. Merasa sangat bersalah telah bertanya,
ia menggaruk belakang kepalanya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“aku hanya bertanya. Jadi... yah, tidak usah dipikirkan
terlalu jauh.” Akunya sambil tersenyum kikuk.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Aku tahu. Aku tahu ia berbohong. Jika bukan begitu, lalu apa
arti tatapan tajamnya? Lalu apa arti pandangan matanya yang begitu sendu ketika
menyadari perilakuku yang sedang kalut? Sangat tidak adil jika hanya ia yang
bisa membaca perasaanku. Aku pun tahu, bagaimana ia merasa sedih dan sangat
marah, dan coba ia sembunyikan dari tatapan sendu dan tajam itu. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku menunduk dan meraih ujung jaketnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“itu sudah sangat lama. Memangnya ada ya seorang gadis yang
mencintai seorang pria sebegitu lamanya?”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku menengadahkan kepalaku. Memandang kedua matanya satu
persatu untuk meyakinkan bahwa semua perasaan kalut yang diasumsikan Sora
adalah salah. Semuanya salah. Bahkan aku pun berusaha mengatur cerita bahwa
selama ini aku tidak mengenal Kouu dan tidak pernah mencintainya sedikitpun
agar aku tampak lebih meyakinkan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ia tersenyum, kemudian mengacak-acak poniku. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“aku hanya bertanya. Bukan berarti aku juga berpikiran
seperti itu.” Jawabnya. “lagipula perempuan itu makhluk yang mudah jatuh cinta,
bukan?” lanjutnya dengan tertawa.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku hanya tersenyum dengan berusaha mengiyakan. Apapun itu,
aku iyakan saja. Meskipun apa yang ia nyatakan salah, tapi sejujurnya jatuh
cinta itu berbeda dengan perasaan lainnya. Mungkin dengan menyukai seseorang,
perasaan itu akan berlangsung singkat dan cepat. Namun yang aku tahu, jatuh
cinta adalah hal yang sangat membekas. Sukar hilang, meskipun partikel yang
mereka sebut-sebut dengan 'waktu' pun belum tentu bisa melenyapkannya secara
utuh.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“bagaimana dengan laki-laki? Mereka justru lebih mudah jatuh
cinta, bukan?” timpalku sambil menaikkan satu alisku.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“tentu saja.” Ucapnya dengan tertawa. “dan kali ini aku
jatuh cinta denganmu.” Lanjutnya sambil meletakkan jari telunjuk di depan
bibirnya, mengisyaratkan agar aku merahasiakan semuanya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Syok dengan pernyataannya yang tiba-tiba, aku pun mengerjapkan
mataku berkali-kali, kemudian terkikik geli. Aku mendorong tubuhnya dengan agak
keras, tapi tubuhnya yang sigap itu tidak membuatnya terjatuh ke belakang dan
justru kembali berdiri tepat di depanku. Ia pernah menyatakan perasaannya padaku sebelumnya. tapi aku yang tidak terbiasa dengan sikapnya yang sedikit agresif terkadang membuatku tidak tahu harus bersikap apa.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“apa-apaan, sih?” kesalku sambil tersenyum malu dan
memandangnya dengan sedikit memelas. Sora hanya tertawa menyadari kebodohannya
sendiri. Tawa itu sangat lebar. Aku memandanginya yang sedang tertawa dan
berbicara. Entah apa yang sedang diucapkannya sekarang, aku hanya terfokus
dengan matanya yang menyipit karena tawanya. Aku pun secara tiba-tiba dapat
mencium aroma jeruk itu lagi. Membuatku kembali ingat pada hari itu. Hari di
mana aku dan dia pulang terlambat bersama. Sinar senja masuk melalui celah jendela
kelas, di saat itulah pria di depanku ini merenggut ciuman pertamaku. Aku tidak
melakukan perlawanan apapun karena lagi-lagi aku tidak tahu harus bersikap apa. Toh, aku juga tidak merasakan apapun. Yang kuingat
hanyalah aroma jeruk yang sama darinya. Ciuman pertamaku benar-benar tidak seperti apa yang aku pikirkan sebelumnya ataupun apa yang seharusnya aku rasakan saat itu juga. Namun lucunya, aku sama sekali tidak keberatan jika itu Sora.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Sejujurnya aku membawa payung.” Aku Sora.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Eh? Apa?!” </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku terjengit kaget. Hanya itu yang bisa tertangkap
telingaku setelah tersadar dari lamunan akibat aroma jeruk miliknya. Membawa payung katanya? Aku
benar-benar tidak habis pikir.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Kenapa tidak daritadi, sih?” ucapku kesal dan kemudian
menjewer telinga kirinya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“iya, aduh, aduh! Hentikan!” keluhnya. Aku pun melepas
tanganku dan membiarkannya mengambil payung dari tasnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Ayo pulang bersama-sama.” Ucapnya lirih. “Rumahku dekat. Jadi,
kita ke rumahku, lalu aku antarkan kau pulang.”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sora menatapku lembut tepat di kedua bola mataku. Mata itu
kini terlihat sendu. Sendu yang berbeda. Aku tidak tahu apa artinya, tapi aku
terus mencoba memperhatikan kedua matanya satu persatu.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Tenang saja. Aku antarkan naik mobil.” Lanjutnya dengan
senyum lebar.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku tertegun. Ini bukan karena ia mau mengantarkanku pulang di
hari hujan atau diantarkan dengan mobilnya. Melihat senyum itu, dan pandangan
lembut itu, aku terdiam. Aku hanya mengangguk pelan dan pandanganku masih
melekat di wajahnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sekarang aku telah menyadari sesuatu. Setelah semua yang ia
lakukan, dan setelah apa yang ia coba tunjukkan padaku, aku telah menyadarinya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Rupanya aku...</div>
<div class="MsoNormal">
<br />Aku tidak mencintainya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-62855352902014852922016-01-15T06:05:00.001-08:002016-01-15T06:05:53.636-08:00Dasar Bocah<div dir="ltr">
Gelap. Sejauh mata memandang, malam ini masih belum kau temukan seberkas cahaya dari bulan maupun bintang. Belakangan cuaca bisa menjadi sangat ekstrim disini. Yang pada awalnya terasa terik, dalam satu kedipan mata bisa berubah menjadi gelap. Dan dalam satu kedipan mata lagi, kau akan melihat pohon-pohon itu merunduk tertiup angin. <br />
<br />
Terlalu dahsyat. Kau pasti akan bertanya orang macam apa yang masih sanggup berdiri tanpa berteduh disaat badai. Kau justru mulai memikirkan dirimu sendiri, saat jemuran pakaian itu lupa diangkat, meninggalkan jejak basah ketika kau menyadari bahwa sedikit saja kau terlambat mengangkatnya, tidak ada lagi yang bisa kau gunakan besok pagi.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Pemanas air terdengar bersiul. Kau mulai merasa tenang dan bergegas membuat teh hangat. Entah siapa yang akan kau ajak dalam pesta minum tehmu kali ini. Mungkin badai? Bahkan ia tak menyambutmu dengan baik, untuk apa kau undang untuk pesta minum teh?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Tak ada obrolan dari acara interaktif untuk malam ini. Petir yang bersahut-sahutan bisa jadi alasannya. Yang jelas, kau tidak akan merelakan benda berhargamu itu hanya untuk menemani rasa kesepianmu sekarang. Teh hangat saja sudah cukup, bukan? Oh, dan lihat. Mungkin kilat-kilat petir itu juga sedang berusaha menyapamu lewat jendela rumah.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau duduk manis di atas sofa sambil membaca beberapa majalah lama. Kobaran api di tungku adalah satu-satunya penerangan untukmu. Sudah biasa, pikirmu. Listrik yang tak kunjung menyala hingga malam ini, mungkin bisa saja berlanjut hingga esok pagi. Setidaknya kau merasa hangat, sehingga akan lebih baik jika malam ini kau tidur di depan perapian daripada di dalam kamar.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Telepon rumah berdering. Memaksamu untuk beranjak dari sofa. Sembari menggerutu, kau mengangkat telepon itu. Siapa gerangan orang yang mengganggu hari santainya ini?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Tuan, aku menemukan Cherry!"</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Air mukamu berubah drastis. Tak ada yang kau sesali setelah beranjak dari sofa. Kau justru mulai mempertanyakan banyak hal.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Paman? Kubilang aku menemukan Cherry."</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Bocah itu membuyarkan lamunanmu. Membuatmu menjadi cemas pada dua hal sekarang. </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Apa yang kau lakukan, hah? Mana ibumu?"</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Seperti biasa, paman. Mereka pergi kerja."</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Seakan tak ada lagi pertanyaan yang bisa kau tanyakan, sedangkan otakmu sudah berisi kekhawatiran yang memuncak. Kali ini apa yang dilakukan bocah itu? Disaat badai pula! Kau tidak akan pernah mengerti dengan jalan pikirannya.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Cepatlah ke rumahku! Ada teh hangat yang akan menyambutmu."</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Sebuah senyum yang tak terlihat olehmu kini berkembang, seiring kau menyebut pesta minum teh sebagai acara favoritnya.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Baik, paman!" </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Ia pun memutus sambungan telepon. Kau duduk kembali di atas sofa, kali ini dengan lemas. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan bocah itu?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Bodoh." Gumammu.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Tapi kau tak bisa memungkiri. Ia yang bodoh, tapi ialah yang paling kau sayangi. Satu-satunya orang yang menemanimu di hari tuanya, ketika anak semata wayangmu sibuk dengan pekerjaan dan anak-anak mereka. Jangankan untuk menanyakan kabarmu, kau sendiri tak tahu dimana anakmu berada. Sangat ironi jika kau menemukan anak tetanggamu lebih peduli daripada anakmu sendiri, bukan? Memang, hidup terkadang seironi itu. Toh, karena pada akhirnya kau tidak akan peduli dengan pertalian darah hanya untuk menganggap seseorang sebagai keluarga.<br />
<br />
<br />
<br />
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span><br />
<br />
<br /></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-70445900857294056212015-11-27T00:04:00.000-08:002015-11-27T00:04:23.809-08:00Apa Karena Kini Ia...Sebenarnya aku tidak tega melihatnya seperti itu. Permainannya yang kacau menjadi bukti bahwa ia lelah bermimpi. Lihat saja dirinya. ia masih duduk termenung di kursi pianonya. Aku tak tahu kemana arah pandangan matanya. Toh sekalipun aku tahu, sama sekali tidak ada hal yang bisa dilihatnya.<br />
<br />
Jemari itu kembali bermain di atas tuts piano. Aku yakin permainannya kali ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dan bahkan menurutku, kali ini ia bermain lebih buruk dari sebelumnya.<br />
<br />
Ia berteriak, kemudian membanting tangannya ke atas tuts. Lagi-lagi ia menangis, dan aku sudah bosan mendengarnya. Dia sudah gila.<br />
<br />
"Mengapa?"<br />
<br />
Hanya itu yang terucap darinya. Mengapa, mengapa, dan mengapa. Apa ia tidak memiliki pertanyaan selain <i>mengapa</i>?<br />
<br />
Aku mendekatinya. Ia pun berhenti menangis begitu mendengar langkah kakiku.<br />
<br />
"Bisa kau hentikan?" ucapku datar. Sebisa mungkin kuungkapkan rasa bosanku melihat perlakuannya seminggu terakhir. "Kau ini sudah besar. Sadarlah!"<br />
<br />
Ia meraba-raba sekelilingnya. Ketika ia menemukan keberadaanku, ia mendorongku.<br />
<br />
"Kau yang seharusnya mengerti perasaanku!" bentaknya.<br />
<br />
Hening. Entah mengapa aku benci suasana seperti ini. Ia kembali menangis, dan aku pun mendecih.<br />
<br />
"Henti-"<br />
<br />
"Kau ini saudara macam apa?"<br />
<br />
Kini ia berdiri, menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ia tidak pernah terlihat semarah ini.<br />
<br />
Ia menggenggam kedua bahuku. Aku tahu ia sedang menahan sebuah gejolak dalam dirinya. Dan aku tidak akan terkejut jika sebentar lagi rumah akan berantakan karena ulahnya. Yang aku ingat, ia adalah tipe orang yang suka memendam perasaan. Sekali ia marah, ia akan menumpahkan semuanya, tidak tanggung-tanggung. Jika emosi telah melahap akal sehatnya, bisa jadi akulah yang dibunuh setelah ini.<br />
<br />
"Mengertilah..." ucapnya lirih.<br />
<br />
Air matanya kembali menetes. Tatapan matanya akan selalu hampa walau akulah yang ingin dilihatnya. Sebenarnya aku tidak suka melihatnya menangis seperti ini sepanjang hari. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ia sibuk meratapi dirinya sendiri, tanpa mau kuberitahu akan hal baru yang harusnya ia temui.<br />
<br />
"Tolong, mengertilah"<br />
<br />
Seakan ia tahu apa yang ada di pikiranku, ia kembali mengucapkannya. Jujur saja, aku tidak bisa mengerti perasaanmu. Aku tidak bisa mengerti apa yang menjadi pikiranmu selama ini, dan aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiranmu sejauh ini dalam menghadapi cobaan yang menimpamu. Bagaimana aku bisa mengerti jika kau sendiri selalu menangis setiap hari? Kau pikir aku suka mendengarmu seperti itu? Kau pikir menangis bisa menyelesaikan masalah? Kau pikir dengan menangis kau bisa melihat kembali? Aku ingin kau tahu, ada banyak hal diluar sana yang tidak membutuhkan penglihatanmu. Ada hal yang hanya ingin didengar olehmu, bahkan hanya ingin dilihat oleh mata hatimu saja.<br />
<br />
Ia terduduk di lantai sambil menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Lihatlah dirinya... Begitu kacau. Semangat hidup tak ada lagi dalam kobaran matanya. Dingin, kaku, dan mati. Mungkin itulah yang ada di pikirannya sekarang.<br />
<br />
"Biarkan aku menangis."<br />
<br />
Pernyataan konyol. Oh, ayolah! Sudah satu minggu lamanya aku membiarkanmu menangis seperti ini.<br />
<br />
"Kau hanya membuang-buang waktu." jawabku seadanya. Ia pun berhenti menangis.<br />
<br />
"Apa ini sikap orang yang optimis?" ucapku lagi. Aku yakin pertanyaanku kali ini benar-benar menohok hatinya.<br />
<br />
Ia masih terdiam. Kali ini ia tak bisa menahan emosinya. Ingin rasanya ia menghancurkan semua yang ada di ruangan itu. Ingin rasanya ia melontarkan amarah dan sumpah serapah pada siapapun. Jangankan aku, ia pun tak tahu sebenarnya siapa yang salah. Ia tak tahu mengapa ia bisa semarah ini.<br />
<br />
Apa ia marah kepada Tuhan?<br />
<br />
Apa karena kini ia...<br />
<br />
buta?<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Transparent ButterflyZi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-60048543206000712102015-10-18T23:01:00.001-07:002015-10-18T23:12:50.718-07:00Tidak Pernah Mengubah Apapun<p dir="ltr">Wajahnya sudah semurung awan mendung. Gelap, tapi tidak berhujan. Ia terlalu egois hanya untuk menangis. Apalagi untuk sesuatu yang tak beralasan, untuk seumur hidupnya ia tidak akan melakukan itu.</p>
<p dir="ltr">Dengan aku, yang hanya bisa memandangnya dari jauh, justru menangis melihatnya begitu. Boleh saja mereka mengatakanku cengeng begitu mengerti apa yang membuatku menangis. Atau lebih tepatnya terlalu berlebihan, mungkin? Dan tentu boleh saja, jika diriku sendiri mengatakan bahwa aku berhati lembut layaknya gadis lemah, yang sejujurnya itu sangat merepotkan untukku. Berhati kaca dan sangat rapuh. Kalaupun itu tidak ada yang menyadarinya, maka baja yang menyelubungiku sudah cukup tebal.</p>
<p dir="ltr">Meskipun ia mengatakan bahwa aku telah menghancurkan dinding yang sudah ia bangun, aku tahu itu bohong. Terlalu banyak hal yang ia sembunyikan. Terlalu banyak kesedihan tak bertuan yang ditanggungnya, apalagi harus dibagi denganku. Ia terus berbohong padaku. Bahkan aku berharap perasaannya yang ia nyatakan malam itu masih bagian dari kebohongannya. </p>
<p dir="ltr">Karena setiap kali aku ingin meraih tangannya, ia selalu mengelak. Aku tidak cukup egois untuk memaksanya, ataupun menariknya keluar dari kegelapan. Dan setiap kali aku ingin menamparnya keras-keras, ia seakan menahan pergelangan tanganku dan menatapku tajam. Semakin ia meminta waktu sendiri untuk merenungi perasaan hampa dalam dirinya, semakin aku merasa jauh dan terdorong keluar dari lingkarannya. Dan sebesar apapun keinginanku untuk menemaninya menangis, pada akhirnya hanya akulah yang menangis karena tidak bisa melakukan apapun.</p>
<p dir="ltr">dengan begini, aku mengerti bahwa,</p>
<p dir="ltr">Aku bukanlah siapa-siapa.</p>
<p dir="ltr">Aku hanyalah orang asing seperti pada awal cerita.</p>
<p dir="ltr">Karena pertemuan kami,<br>
sesungguhnya tidak pernah mengubah apapun.<br><br><br></p>
<p dir="ltr">Transparent Butterfly</p>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-43622712405903189832015-10-18T22:32:00.001-07:002015-10-18T23:12:43.353-07:00Sekuat Itu<p dir="ltr">Yang menyedihkan itu, bukan ketika perasaanmu tak terbalas. Melainkan ketika kamu tidak bisa melakukan apapun untuk orang yang kamu sayangi. Terlebih lagi, ia membencimu. Tidak memperbolehkanmu sedikitpun menyentuh hidupnya. </p>
<p dir="ltr">Dan disinilah aku, menguntai cerita yang sama.</p>
<p dir="ltr">Sama menyedihkannya seperti apa yang baru saja kujelaskan. Benar, ia membenciku. Aku juga tidak tahu sudah berapa kali ia mengutukku. Mungkin aku terlalu menjengkelkan. Atau mungkin aku ini terlalu norak dan berisik? Ah, meskipun begitu, keduanya tetap sama-sama memuakkan. Tetap pada intinya, apapun yang kulakukan, ia akan terus membenciku.</p>
<p dir="ltr">Sebuah dongeng mengatakan, perasaan benci bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat menjadi perasaan cinta. Hanya masalah waktu, katanya. Tapi ini sudah 15 tahun berjalan, ia masih saja begitu. Aku menjadi tidak percaya dengan dongeng. Semua di dunia ini hanyalah kebohongan, bukan?</p>
<p dir="ltr">Tapi jujur saja, aku lebih tidak percaya dengan bagaimana aku bisa bertahan pada orang yang sama dalam jangka waktu yang lama. Terlalu kaku untuk bergerak. Terlalu rapuh hanya untuk berpindah. Namun lucunya, perasaanku masih sama meskipun waktu mencoba mengikisnya.</p>
<p dir="ltr">Iya, sekuat itu.</p>
<p dir="ltr">Perasaan cintaku, sekuat itu.</p>
<p dir="ltr">Dan sekuat perasaan bencimu terhadapku.<br><br><br></p>
<p dir="ltr">Transparent Butterfly</p>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-73973363355395180462015-10-18T22:12:00.001-07:002015-10-18T23:12:35.448-07:00Orang Seperti Apakah<p dir="ltr">Mungkin di depan aku tampak kuat.<br>
Aku tampak tidak peduli, arogan, tidak punya hati...</p>
<p dir="ltr">dan ketika seseorang bertanya,<br>
"aku pun penasaran, orang seperti apakah yang membuat orang sepertimu jatuh cinta?"</p>
<p dir="ltr">maka aku menjawab, "seseorang yang selalu menghancurkan perasaanku. Kemudian menatanya kembali, hingga terlihat seperti ia tidak pernah menghancurkannya."</p>
<p dir="ltr">kalau ia menjawab kejam, maka aku pun juga tak tahu, <i>mengapa aku bisa jatuh cinta dengan orang seperti itu?</i></p>
<p dir="ltr">kalau ia menjawab bodoh, maka aku pun semakin tak tahu, <i>mengapa aku harus terlihat bodoh hanya untuk mencintai </i><i>seseorang?</i><br><br><br></p>
<p dir="ltr">Transparent Butterfly</p>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-23394197233695787842015-09-29T06:33:00.000-07:002015-09-29T06:34:10.351-07:00Mungkin Tidak Akan Pernah Terjadi<div class="MsoNormal">
Ia ada di depan loker sepatunya. Si pria bertubuh jangkung,
dengan cara berdirinya yang sedikit membungkuk, ia tampak mengacak-acak
rambutnya yang sudah berantakan. Aku rasa ia sedang kebingungan melihat
lokernya yang lagi-lagi penuh dengan surat. Yap, siapapun tahu apa isinya. Pria
itu memang punya banyak gadis penggemar, bahkan sejak pertama kali
kepindahannya ke sekolah ini. Menyebalkan sekali, sungguh.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ini bukan berarti aku juga menginginkan popularitas
sepertinya. Mendapatkan banyak perhatian dari lelaki manapun, kemudian
dibanjiri surat cinta di dalam loker sepatu... ah, tidak. Itu akan sangat
merepotkan. Lagipula hendak dikemanakan surat-surat itu pada akhirnya? Dibuang?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Disinilah kebodohanku. Aku sadar dengan hal itu dan aku
masih saja bersembunyi di belakang loker miliknya. Menunggu dengan harap-harap
cemas, menunggu waktu yang tepat untuk meletakkan surat cintaku ke dalamnya.
Dan, iya, sesungguhnya yang membuatku sebal dari popularitasnya adalah aku
memiliki banyak saingan. Dengan nyali yang dipaksakan, aku berharap ia mau
menerima surat milikku dan menjawab perasaanku sekalipun aku harus menghadapi
peluang 1 dibanding 1000. Sebenarnya tidak perlu juga aku repot-repot melakukan
ini, tapi apa boleh buat. Aku terlalu egois untuk itu.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Sedang apa disini?” tegur pria itu. Ia menemukanku lagi.
Sekarang ia menatapku dengan alisnya yang tertaut penuh heran. Apa aku seaneh
itu? Apa aku yang berdiri di belakang lokermu terlihat tidak biasa?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Oh iya, untuk kesekian kalinya, aku meremukkan suratku.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Apa kau benar-benar tidak ingin ikut kompetisi itu?”
tanyaku padanya. Hanya sekedar basa-basi, karena bukan itu alasanku berdiri di
sini. Mungkin aku terlihat cukup pintar untuk membuat alasan. Tapi ini masih
alasan yang sama untuk insiden ketahuan sebelumnya. Aku mengajaknya untuk
mengikuti kompetisi kimia, pelajaran yang sangat ia kuasai. Sementara aku pun
sudah tahu apa yang akan dijawab olehnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Sudah kubilang aku tidak mau. Aku tidak menyukai kimia,
tahu?” jawabnya. Ia menggaruk belakang kepalanya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Oh, ayolah! Bagaimana bisa kau mendapatkan nilai seratus
hampir di setiap ujian mata pelajaran kimia? Kebetulan, hah? Atau kau
mencontek?” selidikku sambil menyipitkan mataku padanya. Walaupun aku tahu apa
yang akan dijawabnya, tapi melihat wajah tersudutnya itu sangat menyenangkan.
Aku ingin melihatnya lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Hei! Tentu saja tidak! Kau masih tidak percaya padaku? Aku
hanya bermain cantik dalam kimia, mengerti?” kesalnya. Ia memiringkan bibirnya
dan menatapku sarkastik. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Lihat? Dia menggemaskan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Baik, baik. Aku tidak akan memaksamu. Tapi kalau kau tiba-tiba
merasa ingin ikut, masuklah dalam timku. oke?” tawarku yang kemudian dihadiahi
decihan olehnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Itu tidak akan pernah terjadi, nona!” cibirnya padaku. Aku
hanya tertawa melihatnya, lalu membalikkan badanku untuk beranjak pergi
darinya. Aku sudah tahu jawabannya. Ia sungguh mudah ditebak, bukan? Atau
mungkin karena aku yang sudah mulai hafal dengan kebiasaannya?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Aku masih menggenggam surat cintaku—entah sudah yang
keberapa—ini erat-erat. Percayalah, ada sebuah surat yang tidak tersampaikan.
Begitu juga dengan perasaanku. Tidak pernah tersampaikan dengan baik, karena ia
bahkan tidak membuka hatinya sedikitpun untukku. Aku selalu merasa ingin
menamparnya keras-keras. Ketidak-pekaannya itu membuatku gemas, kau tahu? Namun
kerap kali aku melihat senyum lebarnya, aku lupa dengan semua itu. Lihatlah
betapa besar efek senyumannya terhadapku. Terlalu menyilaukan. Aku bahkan bisa
saja lupa siapa diriku.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Namun sekarang, di depan kelasku, aku kembali memandang
sendu tong sampah kelas. Aku membuka surat yang sudah kuremukkan. Entah mengapa
setelah membacanya ulang, tulisanku menjadi terlihat sangat memuakkan. Aku ragu
apakah surat ini akan menggerakan hatinya. Mungkin jika tersampaikan, ia akan
langsung membuangnya dalam sekali lihat. Aku akan terlihat sangat memalukan di
depannya, bukan?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Oh, iya. Untuk kesekian kalinya, aku merobek surat cintaku.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dan percayalah, ini akan terus berulang, sampai waktu yang tidak bisa kutentukan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Mungkin... sampai ia membalas perasaanku secara tidak
sengaja? Atau mungkin, sampai ia sudi menggenggam tanganku dan menemukan ada
sesuatu yang remuk di dalam sana?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Iya, mungkin.</div>
<br />
<div class="MsoNormal">
Mungkin tidak akan pernah terjadi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-44390602828652553942015-09-23T21:43:00.000-07:002016-09-07T06:18:53.972-07:00Selimut dan Kamu<div>
Dari semua yang sudah terjadi seharian, hanya lelah yang bisa kita dapat. Aku, dan kamu, lagi-lagi kembali pada tempat ini. Berdua, di dalam sebuah ruangan kecil; kamarmu yang selalu menjadi tempat kita bertemu. Bertukar cerita selalu menjadi kebiasaan kita, kemudian tertawa mengenai hal yang tidak lucu sekalipun. Entah sejak kapan kita melakukan ini, tapi siapapun dari kita, terima kasih sudah memulainya. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kita, hanya sebatas dua orang yang bersahabat. Menyimpan janji yang tersirat--mari tidak saling jatuh cinta--tapi kita melanggarnya. Untuk melakukan itupun kita tidak bisa, bagaimana dengan membuat janji-janji yang lain? Maka, dengan begini saja tidak masalah, bukan? Tapi aku serius ketika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Bagaimana harimu berjalan?" tanyamu padaku. Pandangan matamu masih tidak beralih dari layar laptop. Sibuk dengan pekerjaanmu, aku pun hanya menggendikkan bahu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Berjalan seperti biasa. Aku lelah." jawabku singkat, kemudian bersembunyi di balik selimut. Sesungguhnya ada sesuatu yang kukhawatirkan, tapi aku tidak akan mengucapkannya padamu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Aku mengerti. Kegiatanmu banyak sekali hari ini, bukan? Beristirahatlah."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lagi, kamu salah menilaiku. Sebenarnya aku lelah karena fikiranku tentangmu. Lagipula jika harus kukatakan, itu tidak akan berarti apa-apa untukmu. Atau bahkan jika aku tidak siap mendengar jawabanmu, akan lebih baik jika aku diam.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Padahal kufikir ketika aku jatuh cinta padamu, aku akan merasa baik-baik saja. Maksudku, kufikir kisah cintaku ini akan berjalan tanpa air mata. Dengan aku yang semakin hari semakin mudah menangis, rasanya tidak juga. Dengan aku yang semakin sensitif ini, mudah mencemaskan hal yang seharusnya bukan milikku, aku menjadi lebih egois. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa berhenti. Cinta memang resiko, dan mencintaimu adalah jawaban kalau aku sudah siap dengan itu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kamu menghentikan pekerjaanmu, sedikit merenggangkan kedua otot punggungmu, kemudian melihatku yang sudah terbungkus selimut. Aku tampak sangat lemah hari ini, dan aku tidak ingin kamu melihatku dalam keadaan seperti ini.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Hei." Sapamu. "Mau nonton film?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku menyipitkan mataku ketika mendapatimu membuka selubung selimutku. Sebagai tanda penolakan, aku menggeleng kecil. Aku tidak ingin menonton bersamamu. Aku ingin sendiri malam ini. Tapi di tengah keruhnya duniaku, aku masih sempat merindukanmu. Itu sebabnya aku kemari, hanya sekedar membuat kamu dan aku sadar bahwa kita tidak benar-benar sendiri.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kamu mulai mengoceh mengenai cerita yang ingin kamu tonton. Terdengar lucu. Segala caramu mempengaruhiku selalu berhasil, tuan. Kamu sungguh membahayakan. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Iya, aku nonton. Tapi nanti saja, aku masih mau berbaring." jawabku sembari kembali menutup diri dengan selimut. Malam ini sangat dingin. Kamu hangat. Bahkan aku tidak tahu harus memilih kamu atau selimutmu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tidak pernah ada keheningan di antara aku dan kamu yang membuatku tidak merasa nyaman. Tapi kamu, aku selalu takut mengenai kamu. Aku takut kamu merasa bosan melihatku yang mencintai keheningan. Kukira aku gadis yang membosankan. Jangan heran jika suatu saat kamu melihatku berusaha terlihat menyenangkan, kemudian pada akhirnya tertolak kerumunan. Hanya dengan kamu, aku berusaha mencintai diriku sendiri. Karena sebuah prinsip yang tertanam dalam otakku; bagaimana bisa aku mencintaimu, jika aku sendiri tidak bisa mencintai diriku sepenuhnya?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Akhirnya kamu memulai percakapan denganku. Kali ini kamu melibatkan dia dalam topikmu. Dia, si orang ketiga, selalu terselip secara tidak langsung di antara kita. Aku tidak tahu harus mengatakan apa selain harus tertawa. Kadang aku hanya tersenyum melihatmu terbawa nostalgia. Lucu memang, tapi aku selalu merasa bingung. Aku tidak bisa memilah perasaanku sendiri. Apakah ini rasa sakitmu yang ikut kurasakan, atau justru cemburu yang membuatku tersenyum miris?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Bukan kewajibanku untuk mengerti mengapa aku harus memilihmu. Semua terjadi begitu saja. Yang pada awalnya aku terluka karena kecewa--melihat seorang pria penuh kebohongan cintanya mempermainkanku, kemudian tidak sengaja bertemu denganmu--yang pada saat itu terluka karena penantian cinta dan ditinggalkan. Pada awalnya kita hanyalah sepasang manusia yang ingin mengobati satu sama lain. Namun saat dosis itu berlebih, kita menjadi melayang. Kita mabuk. Kita buta. Dan perlahan cinta itu tumbuh tanpa diminta.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku membuka selimutku. Dengan rambut yang masih acak-acakan, aku merangkak mendekatimu, membungkammu dengan melingkarkan selimut padamu. Kamu tampak bergetar, merasakan hawa malam yang semakin dingin, atau entah karena kamu terbawa perasaan sedihmu. Menurutku pilihan terakhir itulah yang membuatmu merasa menggigil.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Sssst" bisikku. "Jangan diingat, ayo nonton" ucapku lembut sembari mencari film yang ingin kita tonton dalam folder laptopmu. Kamu diam sejenak, kemudian tersenyum menyetejui. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Tapi sekarang aku menemukanmu, jadi tidak masalah." ujarmu malu-malu. Kamu merapihkan rambutku, kemudian ikut melingkarkan selimutmu padaku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku akan selalu ingat, setiap kali kamu ucapkan kalimat itu, kamu seperti berusaha menghiburku. Walau justru menurutku, dengan begitu kamu bisa menghibur dirimu sendiri. Aku hanya tersenyum, tidur dibahumu, dan kamu ikut meletakkan dagumu di atas kepalaku. Sekarang aku mengerti, antara selimut dan kamu, aku ingin dua-duanya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Bahkan terkadang aku lupa, bahwa sesungguhnya akulah si orang ketiga, perampas cinta tulusmu dari gadis itu. Bukan maksudku menyelamatkanmu dari cinta yang salah. Justru dengan begini, aku takut jika akulah yang salah.</div>
<div>
</div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-39440801928795423532015-08-08T22:20:00.000-07:002015-09-29T04:53:12.800-07:00Aku Tidak Akan Kembali<br />
<div style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;">
</div>
<br />
"Karena aku mencintaimu."<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Sebuah kalimat yang cukup membuatku terpaku. Tak bergerak sedikit pun, membalas pun tidak. Yang kupikirkan adalah bukan bagaimana cara kamu mengatakan hal itu, ataupun berapa lama kamu menyimpan itu semua, dan bagaimana bisa kamu mengucapkan itu padaku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Yang terpikirkan hanyalah mengenai jalan pikiranmu. Kamu terlalu abstrak, kamu individual.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Hei?" ucapmu lagi begitu mendapatiku tidak membalas pesanmu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Aku memang tidak mengerti kamu. Coba jelaskan apa saja yang ada di otakmu, hai pria yang mengaku kesepian? Apakah dengan menganggap bermain dengan perasaan seseorang adalah caramu keluar dari rasa kesepian? Kamu hanyalah orang yang egois.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Aku tidak mengerti." jawabku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Akan sangat lucu jika kamu tahu di mana aku merasa tidak mengerti. Tapi pada dasarnya kamu tidak pernah peka, bukan? Maka sampai pada penghujung cerita, ini bukanlah hal yang lucu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Aku juga tidak berharap kamu mengerti,"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Benar. Aku juga tidak akan mencari cara untuk mengerti kamu. Apa aku pernah mengatakannya padamu, bahwa aku sudah berhenti mengenai semua tentangmu? Aku berhenti mendengarmu, berhenti melihatmu, berhenti peduli padamu, berhenti menjadi orang yang menyenangkan untukmu. Bisakah kau melihat bahwa aku sudah benar-benar berhenti? Bisakah untuk sekali ini saja kamu merasa peka untukku?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Tapi aku harap kamu bisa menerimaku kembali." lanjutmu lagi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Rasanya ingin tertawa sekeras mungkin. Sekarang aku merasa heran, bagaimana kamu mengucapkan hal itu dengan mudah? Kamu berpikir bahwa memintaku kembali itu semudah kamu meninggalkanku? Oh, sungguh. Aku bukan gadis yang seperti itu. Sekalipun aku adalah gadis yang naif, tapi aku akan selalu ingat bagaimana kamu memalingkan wajahmu dariku. Kamu membiarkanku melayang dalam harapan selama setahun, sedangkan di lain waktu kamu hanya bersenang-senang melihatku melayang dengan bodohnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Maaf," Basa-basi. <i>Aku tidak pernah meminta maaf padamu. Ini bukanlah kesalahanku.</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Aku sudah tidak melihatmu lagi seperti dulu."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Aku tetap tidak akan meminta maaf padamu.</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Terima kasih..."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Aku tidak peduli lagi.</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
"...karena sudah bersusah payah mengucapkannya untukku."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Pergilah.</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
"Tapi seperti yang sudah aku katakan,"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Jangan kembali.</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Karena aku juga tidak akan kembali.</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<div>
<br /></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-24970882535966431282015-07-13T13:08:00.003-07:002015-09-29T04:52:16.502-07:00Orang yang Paling Bahagia Di DuniaCoba tebak, kira-kira apa yang bisa membuatmu merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia?<br />
<br />
<div>
Apakah cinta? </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Apakah ketika kita mencintai seseorang, orang itu juga mencintai kita?<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Yap, bisa jadi!</div>
<div>
<br />
Tapi apa kamu tahu bahwa ada hal yang lebih membahagiakan dari itu?</div>
<div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pernahkah kamu berpikir, bertemu dengan seseorang yang mengerti dengan semua yang kamu pikirkan? Seseorang yang sejalan, sepaham, sepikiran denganmu. Walau kalian nampak berbeda, pada dasarnya kalian sama. Ibarat sebuah koin dengan kedua permukaan yang berbeda, tapi kalian satu. Sungguh lucu.</div>
<div>
<br />
Pada awalnya kamu tidak percaya. Tidak ada yang bisa mengerti dirimu, siapapun itu. Tapi di luar sana sosok itu ada. Dia siap menjadi bahumu, membuatmu tertawa lepas, membuatmu merasa nyaman, memberikanmu pelajaran yang berharga, ataupun merelakan hal yang berharga sekalipun, yaitu waktu miliknya. Percayalah, sosok itu ada.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hal yang manis itu, adalah ketika kamu menyadari perbedaan yang sama mengenai kalian. Kekuranganmu adalah kelebihannya, dan kelebihannya adalah kekuranganmu. Kamu adalah kutub positif dan dia adalah kutub negatif. Saling tarik menarik sehingga menimbulkan medan magnet. Bahkan dalam kegelapan sekalipun, kalian bisa merasa menjadi yang paling terang di antara semuanya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div style="text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
</div>
</div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-79349631774620116812015-06-19T07:24:00.000-07:002015-09-29T04:46:26.408-07:00A FarewellIni lucu. Padahal kamulah yang akan berjalan sendirian, tapi justru aku yang menangis. Kamu pergi, seperti meninggalkan ruang kosong di sebuah papan <i>puzzle</i>, yang sebenarnya tidak akan terisi lagi, tidak akan terasa sama lagi, jika itu bukan kamu.<br />
<br />
Aku selalu berharap, bahwa bukan hanya aku yang merindukanmu sampai seperti ini. Aku ingin semuanya memiliki perasaan rindu yang sama terhadapmu, sekalipun kami belum memulai perjalanan baru. Di sisa hari, mungkin kita memang sama-sama berjuang di tempat yang berbeda. Walau di detik ini aku masih menginginkan kita. Kita yang berjuang di lingkaran yang sama.<br />
<br />
Aku masih ingat, bagaimana kamu memaparkan cita-citamu, atau rencanamu untuk masa depanmu. Ataupun saat kamu memutuskan untuk berpisah. Rasa sakit itu tidak akan meledak, jika saja saat itu kamu tidak menunjukkan wajah bahagiamu padaku. Sekalipun itu bohong, tapi kamu sedang berusaha tegar, bukan? Maka aku pun begitu.<br />
<br />
Atau justru kamu yang ingat, bagaimana aku yang tidak bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Bahkan aku tidak mengucapkan satupun kata perpisahan dengan benar. Katakan, apakah itu membuatmu terluka? Aku masih tidak bisa terima. Hari sebelumnya, dimana aku dengan sikap riangku menandingi wajah masammu, tanpa tahu bahwa itu memang hari terakhir kita bersama. Tidak, aku belum bisa menerimanya. Apa kamu juga merasa ini terlalu cepat? Bahkan aku pun merasa bodoh. Mengapa saat itu aku bergembira di atas rasa khawatirmu?<br />
<br />
Mungkin perasaan kesepian ini tidak akan sampai seperti ini, atau sesakit ini, jika itu bukan kamu.<br />
<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-75679014018283306752015-05-26T00:55:00.002-07:002015-09-29T04:41:02.720-07:00UnrequitedSiapa yang menyangka? hari yang telah lama kutunggu-tunggu itu datang hari ini. Aku merasa semua ini terlalu cepat meskipun aku selalu memperhatikan kalender. Tapi, sungguh ini terlalu cepat. Waktu yang kuhabiskan untuk menunggu benar-benar kubuat hanya untuk menunggu, bukan untuk mempersiapkan diri. Aku merasa bodoh hanya dengan menyadari itu.<br /><br />Bagaimana aku mengatakannya, ya? Mungkin kau akan mengerti jika berada di posisiku sekarang. Rasa senangku yang tak bisa diungkapkan, membuatku hanya bisa terdiam dan senyum-senyum sendiri sedari tadi. Aku terus memperhatikan sekeliling sambil memainkan gantungan tasku. Pertemuan ini sangat membuatku gugup.<br /><br />Bukan! Aku bukan melibatkan diriku dalam sebuah rencana pembunuhan. Apa senyumku terlihat seseram itu? Oh, ayolah! Mereka semua menatapku dengan tatapan curiga, membuatku semakin khawatir dengan penampilanku hari ini. Atau, mungkin saja bukan senyumku yang mengerikan? Tapi memang sepertinya ada sesuatu yang aneh terhadap diriku hari ini. Apa kau juga mulai curiga denganku? Hei! Aku hanya menggunakan <i>dress</i> selutut berwarna biru muda, bukankah itu wajar untuk gadis seusiaku? <br /><br /><i>Well</i>, sebenarnya, memang harus kuakui, sih... tidak biasanya aku menggunakan pakaian seperti ini. Apalagi, ini pertama kalinya aku mengikat rambutku dengan menyisakan sedikit rambut di depannya. Terlihat feminim, ya? Aku tidak menyangka aku bisa melakukan sejauh ini hanya demi seseorang.<br /><br />Seseorang itu, apa kau benar-benar ingin tahu? Sebelumnya aku ingin bertanya... Apakah kau memiliki seseorang yang spesial? Apakah kau memiliki perasaan yang aneh jika bersamanya? Mungkin seperti, perasaan yang menyakitkan karena degupan jantungmu terlalu keras, atau perasaan manis di sisi lainnya. Dan apakah ia terlihat tampan di matamu? Apakah memperhatikan kelakuannya adalah hobimu sekarang?<br /><br />Ah, andai aku bisa sepertimu, ya... Sayangnya posisiku tidak seperti itu sekarang. Aku memang jatuh cinta, tapi ada hal yang membuatku merasa berbeda. Merasa bahwa aku tidak pantas merasakan perasaan ini, bahkan tidak lazim untuk dipikirkan secara logika. Aku benar-benar orang yang hanya memperhatikan perasaan, bukan? Sekalipun aku tahu bahwa aku harus memikirkannya dengan otakku, tapi ada sebuah kekuatan yang menahanku untuk melakukannya. Perasaan cinta, kekuatan macam apa yang ia punya?<br /><br /><div>
Kalau kau menginginkanku untuk mendeskripsikannya, maka yang akan kukatakan adalah, cinta pada pendengaran pertama. Begitu kau mendengar sebuah lagu yang menyenangkan, kemudian menemukan sebuah suara yang membuatmu terdiam sesaat dengan menyadari betapa kau mengaguminya dalam sekali dengar... yap, seperti itulah! Tapi perasaan ini lebih besar, lebih menggebu-gebu, dan cukup membuatku tidak bisa tertidur semalaman hanya dengan mendengar suaranya yang terngiang dalam tidurku.<br /><br />Apakah sebelumnya aku terlalu melebih-lebihkan? Maaf jika telah membuatmu kecewa. Maaf jika ini terlalu normal untukmu. Tapi, aku tidak pernah berkata demikian. Hal senaif ini tidak pernah terjadi dalam hidupku. Bolehkah aku mengatakannya takdir? Aku orang yang kaku, orang yang selalu mendahulukan logika, dan orang yang sulit jatuh cinta. Lalu apa yang bisa membuatku semudah itu merasakan cinta hanya dengan mendengar? Apa yang bisa kuharapkan dari sebuah suara? Bolehkah aku mengatakannya takdir?<br /></div>
<div>
Hal yang membuatku berdiri di sini bukanlah sebatas perasaan cinta dan kagum yang seperti itu. Ada suatu hari dimana keberuntungan berpihak padaku, membuatku mendapat kesempatan untuk berbicara dengan dirinya. Berterima kasihlah pada situs video yang terkenal belakangan ini. Lagu yang aku dengar waktu itu kembali ia nyanyikan. Namun kali ini menggunakan video rekaman dan mengunggahnya di situs tersebut. Mungkin kau akan bertanya, bagaimana bisa itu adalah hari keberuntunganku? Apa karena aku bisa melihat wajahnya? Tentu! itu salah satunya. Yang kedua, aku bisa memberinya sebuah respon balik dengan mengomentari video itu. <br /><br />Dan satu hal lagi yang mungkin akan kau tanyakan adalah, dimana pertama kali aku mendengar suara itu, bukan? <br /></div>
<div>
Radio.<br /><br />Aku mendengarnya di radio.<br /><br />Dan hari dimana aku memberinya komentar, ia membalasku, bersama dengan satu komentar milik orang lain yang juga dijawabnya. Sejak komentar pertama, aku mendapat kesempatan berbicara dengannya. Walau saat itu prosentase dalam mengenalnya lebih jauh adalah kurang dari tujuh persen, tapi justru karena itulah aku mendapat keajaiban lain. Ia meminta alamat <i>e-mail</i>, dan di hari seterusnya kami saling berbincang-bincang mengenai kehidupan. Kami saling bertanya kabar, melakukan panggilan video, bercanda bersama, dan kami benar-benar menjadi teman baik.<br /><br />Lagi-lagi aku bertanya, bolehkah aku mengatakannya takdir? Aku tidak menyangka bisa semudah ini mendapatkan apa yang kuimpikan? Mengapa dunia bekerja terlalu mudah? Apa aku terlahir sebagai orang yang beruntung? Mengapa tidak dari dulu saja kisah cintaku seperti ini?<br /><br />Seiring berjalannya waktu, perasaan cinta yang naif itu telah berubah menjadi cinta yang seharusnya. Sebuah perasaan yang kau rasakan ketika kau benar-benar mengenalnya dengan baik, mengenal kepribadiannya, mengenal apa yang disukainya, semua pembicaraan akan terasa menyenangkan jika itu bersamanya... Aku merasakan itu sekarang! Tapi kisah cintaku ini benar-benar tidak normal, bukan? Lagipula, siapa peduli jika aku harus duduk dan memperhatikanmu dari sebuah layar komputer? Itu tidak akan merubah apapun, meskipun sebenarnya aku menginginkan kisah cinta yang normal. Kisah cinta dimana seorang remaja perempuan jatuh cinta, dan memperhatikan orang yang disukainya dari dunia nyata, bukan dari sekotak layar yang komunikasinya dihubungkan melalui jaringan internet. Itu menyedihkan.<br /><br />“Hoooiii!” <br /><br />Seseorang menyapaku dengan riang dari kejauhan. Ia berlari kecil menghampiriku dan tersenyum begitu sudah berada di hadapanku.<br /><br />“Apa kau sudah lama menunggu kami?” ucapnya kemudian.<br /><br />Aku tersenyum simpul. Mamoru, nama lengkapnya Ame Mamoru. Ame adalah nama marganya yang memiliki arti “hujan” atau “permen”. Pria berambut jabrik ini adalah salah satu orang yang kutunggu hari ini. Bawaannya yang santai dan menyenangkan, cocok dengan namanya yang terdengar mengalir seperti air, atau manis seperti permen.<br /><br />"Aku baru sampai kok!” ucapku tanpa melepas senyumku padanya. Ia juga ikut tersenyum simpul, kemudian senyum itu melebar dengan menampakkan giginya yang putih.<br /><br />“<i>yokatta</i>! Sepertinya aku tepat waktu!” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.<br /><br />Aku merasa sedikit aneh. Seharusnya ini akan berlangsung terasa canggung, namun mengapa terasa biasa saja? Atau hanya aku yang menganggap pertemuan ini begitu penting sehingga aku terlalu gugup sebelumnya? Lihat Mamoru. dia tetap terlihat santai. Atau mungkin ini pertama kalinya aku bertemu orang asing dari luar kota, sedangkan mereka sudah sering jumpa fans dengan orang asing? Ah, iya, mungkin seperti itu.<br /><br />Pria itu, pria yang ada di seberang sana, aku bisa dengan mudahnya menemukan sosoknya di antara kerumunan. Perasaan gugupku kembali mengambil alih semua kesadaranku. Kini yang kulihat hanya pria itu. <br /><br />Ya! Pria yang itu! pria yang sangat spesial, yang selama cerita ini berjalan adalah mengenai dirinya. Ia berjalan, selayaknya seorang pria yang tangguh dengan rambut hitam pendeknya yang bergerak seiring hembusan angin. Kacamatanya bersinar, dan senyum itu... apakah untukku? Aku bisa merasakan pipiku memanas. Tubuh jangkungnya, dan jaket biru dongker itu, apakah terlihat serasi dengan dress biruku sekarang? Ah, tunggu, tunggu. Lagi-lagi aku terlalu berlebihan dalam menggambarkan sesuatu.<br /><br />“Yo! Apa kabar, Sachi?” Ia menyapaku dengan senyum manisnya. Sebuah sapaan hangat yang ia lakukan setiap kami memulai panggilan video, sekarang ia benar-benar mengucapkannya di hadapanku. Tidak ada yang menghalanginya. Sosoknya utuh. Ia sungguh di depanku sekarang. Kau tidak tahu betapa senang dan beruntungnya aku hari ini! Rasanya seperti mimpi. Sekarang kami tidak perlu lagi menggunakan koneksi internet untuk mengobrol bersama, bukan?<br /><br />“Apa sudah lama menunggu?” <br /><br />“Hei, yang benar saja... Jalanmu lambat sekali, Ryu!” ledek Mamoru. Ia menepuk kepala teman masa kecilnya itu dengan telapak tangannya. Sikap mereka selalu seperti itu. Sekalipun dalam panggilan video, ataupun di dunia nyata mereka sama saja.<br /><br />“Tentu saja Sachi sudah menunggu lama! Itu karena kamu!” lanjut pria jabrik itu.<br /><br />Aku masih tidak bisa melepas pandanganku dari Ryu. Ia jauh lebih tampan daripada di dalam foto atau video miliknya. Sekarang aku akan mencoba menghitung, sudah berapa kali aku jatuh cinta dengannya? Sudah seberapa jauh aku jatuh sekarang? Mengingat semua percakapan manis yang kami lakukan, apakah pria ini yang melakukannya? Apa pria berkacamata ini yang aku sukai? Apa benar dia? Yah, aku tidak peduli lagi seberapa bodoh wajahku sekarang. Yang aku tahu, mataku pasti terlihat berbinar. Dan melalui kedua mata ini, seorang Ryu pasti bisa bercermin dengan baik. Karena sosoknyalah... tidak! Hanya sosoknya. Hanya sosoknyalah yang sekarang memenuhi pandanganku sekarang.<br /><br />“Eh?” Ryu mengusap dagunya, kemudian melihatku dengan sedikit mendekatkan diri padaku. “Apa selalu begini cara berpakaianmu?”<br /><br />Rasanya ingin berteriak untuk melepas kegugupanku. Di jarak sedekat ini ia memperhatikanku, kemudian berkata seperti itu, apa ia benar-benar ingin membuatku gugup seharian? Dan apa itu? Bertanya mengenai pakaian? Yah, aku sedikit senang mendengarnya. Pada akhirnya kau menyadarinya, ya! Senang sekali jika kau berpikir seperti itu. <br /><br />“Karena ini hari spesial, maka aku ingin menggunakan sesuatu yang berbeda!” ucapku jujur. Aku tersenyum selebar yang aku bisa. Aku ingin terlihat menyenangkan di depannya. Aku ingin menunjukkan betapa senangnya aku hari ini.<br /><br />“Begitu, ya...” gumamnya sambil membenahkan kacamatanya. Senyumnya itu membuatku tidak tahan. Mengapa ia tampak begitu tampan hanya dengan menunjukkan senyum itu? Apa senyumnya itu semacam kutukan? Ia menyeretku ke dalam dunia lain, dan menelanku bulat-bulat di sana.<br /><br />Mamoru tertawa riang. Ia menggaruk belakang kepalanya. Sepertinya, tidak hanya aku yang terlihat senang hari ini, pria ini pun juga. Mata hijaunya itu menyiratkan kebahagiaan. Aku tidak mengerti apa selama ini dirinya memang seperti itu, atau aku yang selama ini tidak menyadari semangatnya?<br /><br />“Apa menurutmu hari ini spesial?” tanyanya, kemudian kembali tertawa riang. “kau ini berlebihan, Sachi! Hahahahaha”<br /><br />“H-hee?? Benarkah?” tanyaku balik. “aku hanya berusaha jujur...”<br /><br />“Yah, itulah Sachi kita. Selalu berlebihan dalam situasi apapun” ujar Ryu dengan mengerlingkan satu matanya padaku. Aku yakin ia berusaha memberi respon dengan mengucapkan apa yang ia tahu.<br /><br />Lagi, aku kembali tersedot dalam pandangan matanya. Aku masih tidak percaya pria yang selama ini kusukai melalui dunia maya bisa berada di sini, di depanku. Kekuatan macam apa yang telah merasukiku sehingga aku tidak merasa bahwa ini pertemuan pertama kami? Ini lebih seperti reuni kawan lama. Apa karena semangat yang Mamoru tularkan saat pertemuan pertama tadi? Apa tadi itu semacam strategi?<br /></div>
<div>
“Sachi?” Ryu melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku. “Kau tidak apa-apa?” <br /><br />Aku tersentak. Ia menyeretku dalam pesonanya tanpa ijin, kemudian mengembalikanku pada kenyataan tanpa ijin pula. Benar-benar pria yang tidak sopan. Tapi mengapa aku bisa menyukainya? Sachi bodoh!<br /><br />“Tidak apa-apa. Hehe” jawabku dengan tersenyum manis. Senyum ini tidak akan kutunjukkan pada siapapun kecuali Ryu. Dia berhak mendapatkannya. Dan pertemuan ini, selangkah lebih dekat untuk mengenal Ryu lebih jauh, bukan? Aku terlalu cepat jika aku ingin memilikinya. Tapi sejujurnya, itulah yang kurasakan sekarang. Semua yang kulakukan bersama Ryu di dunia maya, bukankah cukup membuktikan bahwa kami saling menyukai? Mengingat itu membuat pipiku kembali memanas.<br /><br />“Perjalanan yang jauh membuatku lapar. Ada saran kafe yang bagus, tidak?” Mamoru mulai mengedarkan pandangannya pada setiap kios yang ada. Hari ini memang cukup ramai, berhubung ini adalah hari Minggu, pasti akan sulit menemukan kafe yang masih menyediakan cukup banyak tempat. Hari ini aku sangat bersemangat, maka aku akan mencarikan kafe yang makanannya enak demi Ryu. Dia pasti akan senang.<br /><br />“kau mau kafe yang seperti apa, Ryu?” tanyaku. Aku tak akan lupa dengan senyum manisku. Apa dia melihatnya? apa dia melihat senyumku? Kau melihatnya, kan, Ryu?<br /><br />“Terserah kau saja.” Jawabnya dengan mengancungkan jempolnya “apa saja yang penting bisa membuat Mamoru senang.”<br /><br />“HE? KENAPA AKU?” sengit Mamoru tidak terima. “Kau semakin hari semakin mencurigakan.”<br /><br />Ryu tertawa senang melihat responnya. Ryu pernah mengatakan padaku bahwa menggoda Mamoru dengan cara seperti itu memang hal yang menyenangkan. <i>Kau perlu mencobanya suatu saat</i>, ucapnya. Mamoru tampaknya sangat terobsesi dengan rasa bencinya terhadap homoseksual, dan Ryu, teman masa kecilnya, menyadari kelemahan ini sehingga terkadang menggunakannya sebagai senjata untuk mengancam--atau apapun itu--hanya untuk kesenangan Ryu sendiri. <br /><br />Walau terkadang Mamoru menyadari hal ini, tetap saja ia takut kalau-kalau semua ucapan Ryu tidak sekedar candaan. Aku juga mengatakan bahwa Mamoru perlu berhati-hati dengan obsesinya itu. Perasaan benci itu tidak abadi. Dan coba tebak apa yang ia katakan?<br /><br /><i>Jika suatu saat aku menjadi homo. Siapapun itu, asal aku tidak bersama Ryu, aku tidak masalah!</i><br /><br />Justru ucapan seperti itulah yang membuatku lebih mencurigai Mamoru daripada Ryu, bukan?<br /></div>
<div>
“Sachi! Sachi! Bagaimana kalau kita ke kafe itu saja?” ajak Mamoru. Ia menarik-narik lengan bajuku, seperti anak kecil saja.<br /><br />“Boleh...” jawabku lirih. Sebenarnya aku merasa ragu juga dengan kafe itu. Siapa tahu sudah penuh? <i>EXpresso Cafe</i> belakangan cukup terkenal dengan menu <i>ice cream jumbo</i> terbarunya. Sangat meragukan jika aku mengatakan kafe itu memiliki cukup meja kosong untuk kami.<br /><br />“Kalau begitu ayo kesana!” ujar Mamoru penuh semangat. Ia berlari lebih dulu ke arah kafe tersebut. Belum sampai seperempat jalan, Mamoru kembali berlari ke arah kami, kemudian langsung menarik tanganku. <br /></div>
<div>
“ayo, Sachi! Cepat! Sebelum kafe-nya benar-benar penuh!”<br /></div>
<div>
Mamoru kembali berlari, dan sekarang justru mengajakku berlari juga! Apa maksudnya, sih? <br /><br />Kami berlari menuju kafe sedangkan Ryu tertinggal jauh di belakang. Melihat Ryu yang tersenyum memaklumi, aku pun berhenti berlari dan menahan tangan Mamoru.<br /></div>
<div>
“Kau ini! Jangan tinggalkan Ryu sendirian!” ucapku kesal. Aku ingin kembali saja. Lebih baik aku berlari bersama Ryu dan meninggalkan Mamoru sendirian di belakang. Bisakah mereka bertukar tempat sekarang?<br /><br />Mamoru menggerakkan jari telunjuknya di depan wajahku. Ia tertawa senang melihatku tiba-tiba berhenti merengut, kemudian ia berujar dengan pelan, “Ryu itu dulu atlet lari.”<br /><br />Mataku terbelalak. Pipiku merona merah. Sebuah gambaran Ryu sedang berlari dalam olimpiade terputar jelas dalam benakku. Di samping itu, aku juga memikirkan bagaimana Ryu berlari untuk mengejarku di sebuah padang rumput yang luas.<br /></div>
<div>
“Tapi rahasia, ya!” lanjut Mamoru dengan mengerlingkan satu matanya. Aku mengangguk senang, dan kami kembali berlari menuju kafe. Aku menoleh ke belakang sebentar, kemudian tersenyum-senyum sendiri melihat Ryu yang ikut berlari mengejar kami. <br /><br />“Lebih cepat Mamoru!” ujarku.<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
Bersyukurlah, di hari seramai ini kami menemukan satu meja kosong. Dan berterima kasihlah pada Mamoru yang telah mengajakku berlarian hanya untuk mendapatkan meja ini. Oh, ya... dan seharusnya Mamoru berterima kasih juga karena aku sudah mau berlarian dengannya. Itu sangat merepotkan, kau tahu?<br /></div>
<div>
“<i>Ice cream jumbo</i> ini menarik perhatianku.” Gumam Mamoru sambil menggosok dagunya. Ia tampak fokus dengan lembaran menu yang ia pegang.<br /><br />“sepertinya kalimat itu tidak hanya kau yang mengucapkannya.” Ucapku dengan menyipitkan mata. Ia tertawa lebar, benar-benar tawa khas Mamoru.<br /><br />Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari Ryu. Ia lama sekali. Dia itu benar-benar atlet lari atau bukan, sih? oh, atau jangan-jangan pemuda yang ada di depanku ini yang tadi sedang berusaha membohongiku?<br /><br />“Mencari Ryu?” sindir Mamoru tanpa mengalihkan pandangannya dari menu. Aku terhenyak dan mengetuk meja pelan.<br /><br />“T-tentu saja, dong! Dia lama sekali...” ucapku tergagap. Aku menenggelamkan kepalaku di antara lipatan tangan dan terus menggerutu. Nada sindiran Mamoru benar-benar membuatku kesal. Memangnya dia sendiri tidak merasa bahwa Ryu sudah terlampau lama hanya untuk berlari?<br /><br />Mamoru mendecih. Mendengar itu, aku langsung menegakkan kepalaku dan memberikan tatapan semenjengkelkan mungkin untuknya. Bisa-bisanya ia mendecih di saat akulah yang dibuatnya kesal?<br /><br />“kau ini benar-benar serius dengan perasaanmu, ya?”<br /><br />Aku terbelalak. Mamoru masih mengingat kisah itu. Ucapannya membuatku tiba-tiba merasa lebih diam dari sebelumnya. Ingin rasanya mengatakan tentu saja sambil memukuli punggungnya dengan tertawa keras. Tapi begitu mendengar nada suaranya itu, ditambah dengan aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas karena lembaran menu, aku mengurungkan semuanya. Sekarang aku lebih ingin menanyakan banyak hal pada Mamoru. Ini lebih seperti, ia menyembunyikan sesuatu dariku. Bahkan mungkin sudah lama sebelum kami bertemu hari ini.<br /><br />“Y-ya...,” aku memainkan jemariku sambil tertunduk malu. “k-kau kan tahu...”<br /><br />“Setelah setahun lebih berlalu?”<br /><br />“...” aku terdiam dan semakin tertunduk.<br /><br />“Setelah banyak hal yang menyakitkan yang ia lakukan padamu?” <br /><br />Aku menegakkan kepalaku, memandangi wajah Mamoru yang kini sudah tampak terlihat serius. Pandangan mata yang datar itu seakan menyiratkan segalanya. Sesuatu yang tersembunyi itu, sebenarnya sudah lama terkuak. Aku selalu menyangkalnya. <br /><br />Kau tahu mengapa? Karena aku tidak siap dengan kenyataan. Aku akan lebih bahagia jika hidup dalam delusi, bukan?<br /><br />Dan juga, karena tidak ada bukti yang kuat mengenai hal itu. Maka lebih baik begini saja.<br /><br />“Dengar,” Mamoru meletakkan lembaran menunya, kemudian duduk dengan sedikit memajukan badan. “Aku selalu ada kalau kau butuh bahu.”<br /><br />Tatapan mata itu nampak sangat tajam. Aku sempat tidak mengenal Mamoru. Mamoru yang selalu terlihat semangat dan bodoh, kini menampakkan sisi dewasanya. Ia sedang kerasukan, bukan? Apa hari yang panas ini telah membuatnya seperti ini?<br /><br />Mamoru, kamu sakit?” ucapku sekenanya dengan menyentuh keningnya.<br /><br />Ia menepis tanganku dan wajahnya memerah seketika. Mamoru membanting badannya ke sandaran kursi. Ia melipat tangannya sambil menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya. <br /><br />Apa aku melakukan hal yang salah? “Mamoru?”</div>
<div>
<br />“Hey! Kalian!” <br /><br />Aku mendongak begitu mendengar suara Ryu yang familiar. Akhirnya ia datang juga. Aku tersenyum senang dan beranjak menggeser tempat dudukku untuk memberinya bangku. Namun hal itu aku renungkan lantaran aku melihat seorang gadis yang bersembunyi di belakang Ryu.<br /></div>
<div>
“Oh, hai!” sapaku riang pada gadis itu. “Aku Sachi.”<br /><br />Ryu tampak memberikan isyarat gadis itu untuk menyambut uluran tanganku. Dengan malu-malu gadis itu meraih tanganku dan berucap, “Aku Namie”<br /><br />Aku tersenyum senang mendengar namanya. “oh, jadi kamu yang namanya Namie?” ucapku sambil menggeser bangku untuk Namie. “Sini duduk”<br /><br />“Lama sekali. Kamu ini mandi di toilet, ya?” ucap Mamoru kesal, menatap malas Namie yang dirasa sudah merasa banyak membuat waktunya untuk menunggu. Namie hanya tersenyum sambil menggaruk pipinya.<br /></div>
<div>
Yah, mengenai Namie, dia itu gadis manis. Wajahnya imut, dengan rambut panjang bergelombang membuatnya mirip seperti seorang idola yang ada di televisi. Kepribadiannya tertutup dan dia itu sangat pendiam. Itu saja sih yang pernah aku dengar tentangnya. Mamoru dulu sering menceritakannya,<br /><br />Aku tidak curiga? Ah, tidak tidak. Namie itu adik Mamoru. Mungkin agar aku tidak menjadi perempuan sendirian disini, maka dari itu Mamoru mengajaknya.<br /></div>
<div>
“Ngomong-ngomong, kamu sudah kenal Namie?” tanya Ryu. Ia tampak senang mendapatiku sudah mengenal Namie.<br /><br />“hmm, yah... aku hanya mendengarnya dari Mamoru.” Ucapku sambil menoleh pada Namie. “nee... kau adik Mamoru, kan?”<br /><br />Gadis itu mengangguk pelan. Senyum manisnya itu benar-benar membuatku gemas.<br /></div>
<div>
“Berarti kau sudah tahu ya kalau dia ini kekasihku, hm?” tanya Ryu menaikkan satu alisnya. “wah daya <i>stalk</i>mu luar biasa.”<br /></div>
<div>
Kekasih?<br /><br />“Hah?” Kekasih, hah?<br /><br />Aku... tidak salah dengar, kan?<br /><br />“Iya. Aku pacarnya Ryu-kun.” Sahut Namie malu-malu. Wajahnya menunduk. Rambut panjang itu tergelung menutupi wajahnya.<br /><br />Pa...car?<br /><br />Mamoru terlihat gelisah. Ia tampak ingin sekali menghancurkan suasana ini. Hal yang ia sembunyikan sudah terkuak, hah?<br /><br />Rasanya ingin sekali tertawa. Menertawai Mamoru yang tampak gelagapan, kemudian menertawai kebodohanku sendiri. <br /><br />Lihat, sudah seberapa bodoh wajahku sekarang. Mau berapa lama bola mata ini bergetar hebat?<br /></div>
<div>
BRAK!<br /><br />Mamoru menggebrak meja dengan kedua tangannya. Tanpa melirik, aku sudah tahu bahwa ia sedang memandangku. Sedangkan aku sendiri, pandanganku masih terkunci pada Ryu. Pandangan lebarku menemukan Ryu yang terkejut dengan pergerakan Mamoru secara tiba-tiba. Aku masih belum bisa berkedip, sungguh. Untuk bernafas pun, aku lupa caranya.<br /><br />“Ada apa Mamoru?” tanya Ryu dengan bawaannya yang tenang.<br /><br />Diam. Suasana menjadi hening.<br /><br />Aku masih tidak bergeming. Memori menyenangkan bersama Ryu kembali berputar. Aku masih ingat bagaimana, dan saat-saat dia berbicara empat mata denganku di panggilan video, dan topik-topik manis itu... omong kosong?<br /><br />“<i>nii-chan</i>?” kini Namie ikut terheran dengan Mamoru.<br /><br />Apakah ini giliranku untuk angkat bicara? Sekalipun tenggorokanku setercekat ini, kau masih menginginkanku untuk berbicara Mamoru? Jangankan untuk berbicara, rahangku sudah terasa sangat kaku. Kau bisa mengerti kan, Mamoru?<br /><br />Mataku yang melebar perlahan menutup. Aku berusaha menahan sekuat tenaga untuk tidak menumpahkan segalanya di sini. Air mata ini... sangat memalukan untuk dipertontonkan hanya karena cinta yang tak terbalaskan.<br /><br />Setelah aku merasa bisa bertahan dengan perasaanku yang hancur, aku kembali membuka mataku. Aku harap pandanganku kini tak terlihat lemah. Pikiranku terus melafalkan pernyataan bahwa aku ini gadis kuat. <br /><br /><i>Aku gadis kuat. Aku bisa melewati ini. </i><br /><br />Aku tersenyum lemah, memberi isyarat untuk Mamoru. Aku tahu kali ini ia ingin melakukan sesuatu. Dan tatapan itu, aku yakin ia sedang meminta ijin dariku untuk melakukan apa yang ia mau. Aku tahu. Aku selalu tahu. Lakukan apa yang kau mau, Mamoru. Aku tahu ia selalu mengerti saat dimana aku benar-benar merasa lemah.<br /><br />“Ryu, aku mau beli sesuatu. Ikut?” Mamoru mulai beranjak meninggalkan meja.<br /><br />“Bodoh! Jadi daritadi kamu belum pesan apapun?” ledek Ryu sambil mengekor di belakangnya.<br /><br />Yap.<br /><br />Sekarang tinggal kami berdua.<br /><br />Aku... dan gadis manis ini. <br /><br />Ah, maksudku... kekasih dari orang yang aku sukai. Aku sungguh tidak bisa berpikir dengan jernih. Mengingat semua yang sudah aku lewati bersama Ryu, aku sungguh tidak habis pikir. Kebohongan macam apa yang sudah ia katakan padaku? Sekalipun pria itu memang tak pernah berbicara atas nama cinta, mungkin karena memang aku terlalu bodoh untuk menyadari itu semua. Rasa pedulinya hanya sebatas rasa peduli. Bukan lebih. Tapi ia sudah membuatku jatuh sejauh ini, seharusnya ia bisa bertanggung jawab!<br /><br />Ironis. Tidak, aku bukan menyalahkan Ryu. Ini karena aku. Seharusnya aku juga tidak bisa menyalahkan siapapun. Ini murni kesalahanku sendiri.<br /><br />“Kau pacarnya Ryu?” tanyaku memastikan. Ah, bodohnya aku. Ini seperti aku memberi sayatan kedua di atas sayatan pertama.<br /><br />“I-iya,” jawabnya dengan bersemu merah. “Kenapa?”<br /><br />“Ah, tidak.” Aku menelan ludahku. “tidak apa2”<br /><br />“Kau tampak kecewa”<br /><br />Aku diam. Apa aku terlihat semudah itu untuk dibaca? Sepertinya tidak seharusnya aku meremehkan gadis ini.<br /><br />“Kau menyukainya?” tanyanya polos. Ia menatapku dengan mata lebarnya yang imut itu.<br /><br />“Aku berbohong jika aku mengatakan tidak.” Aku menghela nafas. “Tapi, kalau dia memilihmu, ya sudah.”<br /><br />Sekarang giliran Namie yang diam. Aku kembali menutup mataku, kemudian terus merutuki diriku sendiri. Mengapa aku menjadi sok keren begini di hadapannya? Padahal baru saja aku menyapanya dengan riang, sekarang aku memperlakukannya begini? <br /><br />Benar-benar bermuka dua. Aku benci diriku sendiri.<br /><br />“Kau tidak marah?”<br /><br />“Lagi-lagi aku berbohong jika aku mengatakan tidak.” Jawabku seadanya. “aku hanya tidak tahu harus berbuat apa”<br /><br />“Lalu?” ucapnya melemah. Kini ia tampak merasa bersalah.<br /><br />Hei, Namie. Ini bukan salahmu. Aku memang marah. Tapi aku tidak mengerti siapa yang harus kumarahi. Dan dengar,<br /><br />“Rasanya... ingin sekali menghancurkan kafe ini. Tapi jika kau yang dipilihnya, hal konyol dengan menghancurkan semua yang ada di depan mataku pun tidak akan mengubah apa-apa.” Jelasku menenangkannya. “Aku hanya perlu sedikit bertahan, bukan?”<br /><br />Ia memainkan jarinya. Aku tidak tahu apakah ucapanku barusan benar-benar menenangkannya atau tidak. Dan entah mengapa aku menjadi terlihat sangat kejam dalam sudut pandang lain. Sudut pandang diriku? Hahaha, ya, benar. Ini benar-benar menyiksa diri.<br /><br />“Kau pasti bekerja sangat keras.”<br /><br />Oh, benar. Terima kasih sudah membuatku merasa senang. Tapi ini terasa sangat lucu, bukan? Aku berusaha menenangkanmu dan sekarang justru aku yang merasa tenang. Aku benar-benar kejam.<br /><br />“Tidak sekeras itu,” gumamku. “Aku ini lemah. Kau harus berpikir dua kali jika mengatakan hal itu di depanku.”<br /><br />“Justru itulah yang membuatmu kuat.”<br /></div>
<div>
“...”<br /></div>
<div>
Sungguh, rasanya aku ingin menangis. Sikap baiknya itu benar-benar membuatku semakin lemah.<br /><br />“Lagipula, kau juga terlihat baik.” Ucapku jujur. “jadi, jagalah dia.”<br /><br />“oh, maksudku, yah... tanpa aku berkata seperti itupun kau juga akan menjaganya.” Lanjutku dengan tawa hambar.<br /><br />Aku menggigit bibir bawahku. Aku sudah terlampau jauh. Rasanya ingin pergi dari sini dan membanting diri. Sok kuat. Memalukan.<br /><br />“Kau mulai membuatku kesal.”<br /><br />Benar. Aku juga. Bahkan aku lebih kesal dengan diriku sendiri daripada perasaan kesalmu itu.<br /><br />“Sikapmu yang seakan tidak peduli itu membuatku muak! Kalau kau marah ya marah saja!” tegurnya dengan mengerucutkan bibirnya.<br /><br />“Memang apa perlunya marah padamu?” tanyaku dengan tersenyum setengah hati. “merepotkan sekali.”<br /><br />“Kalau kau tidak suka, kenapa tidak rebut saja dia?”<br /><br />Pandanganku beralih cepat. Aku menatapnya dengan penuh amarah. <br /><br />“Maumu apa, sih?” kesalku. “jaga mulutmu! Kau ini pacarnya. Tidak pantas bicara seperti itu!”<br /></div>
<div>
“kau membuatku muak!”<br /><br />“lalu kenapa memulai pembicaraan?”<br /><br />Ia diam. </div>
<div>
Apa kau mulai membenarkan ucapanku, hm?<br /><br />“Aku ini memuakkan, kau tahu?” keluhku padanya secara tidak sadar. “Kalau kau sudah mengerti, lebih baik kau diam dan nikmati saja pertemuan kita ini.”<br /><br />Perlahan aku menunduk dan memainkan jemariku. Aku kembali menutup mataku, menahan semuanya. Sekalipun hanya di depan Namie, aku tetap tidak akan menunjukkan sisi lemahku. <br /><br />“Lagipula, apa salahnya merelakan?” gumamku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
“Kalian terlihat lebih cocok,” Ucapku lirih. “Aku akan mendukung kalian.” Lanjutku dengan tersenyum lembut.<br /><br /><i>Well</i>, aku harap senyumku tidak terlihat menyakitkan.<br /><br />Hening beberapa detik. Namie, maupun aku, tidak ada yang ingin memulai percakapan. Hingga pada akhirnya gadis itu menghela nafas.<br /></div>
<div>
“Terima kasih sudah melakukan ini untukku dan Ryu.” ucapnya sambil tersenyum manis.<br /><br />Aku menahan decihanku. “Jangan salah paham.”<br /><br />“Aku melakukan ini bukan untukmu.” Ucapku kesal. “Aku sedang melawan diriku sendiri. Selama ini aku terlalu egois, mungkin ini adalah hukuman untukku.”<br /><br />Mendengar itu, ia justru tertawa. “Sudah kuduga. Kau memang sangat bekerja keras.”<br /></div>
<div>
Tawanya itu benar-benar menular. Ia gadis pendiam yang menyenangkan.<br /><br />“Tidak juga.” Jawabku sambil tersenyum.<br /><br />“Ah, ini diaaa!” Mamoru datang sambil membawa nampan, dengan Ryu membawakan minuman di belakang Mamoru. Kami berdua tersentak kaget melihat apa yang dilakukan oleh kedua pemuda itu.<br /></div>
<div>
“Kenapa tidak meminta <i>maid</i> saja sih untuk mengantarkannya?” kesal Ryu sambil membenahi kacamatanya. "Dasar Mamoru!"<br /><br />Ah, Ryu... Melihatnya masih saja terasa sakit. Pria tampan ini, yang hampir setiap malam mengobrol denganku ternyata sudah milik orang lain. Perasaan sedihku kembali menyeruak.<br /><br />Mamoru mengambil tempat duduk di depanku. Ia menyodorkanku jus melon sambil tersenyum lebar. <br /></div>
<div>
Aku tersenyum sambil menerima jus melon itu. Bahkan aku sudah tahu dari awal kalau Mamoru memang mengerti saat-saat terlemahku. Dan apa ini? Bahkan ia mengerti minuman favoritku.<br /></div>
<div>
“Jus ini identik dengan Sachi” ucap Mamoru seakan mengerti pikiranku. Aku melotot sebal. Memangnya aku selembek ini apa?<br /><br />Walaupun aku sudah merasa tenang, perasaan sakit itu masih menghantui. Tanpa melihat pun aku bisa mengerti bahwa Ryu dan Namie sedang asyik mengobrol. Mereka mungkin tampak terlihat mesra sekarang. Tawa serenyah itu, pasti bukan aku yang bisa membuat Ryu begitu. Ryu memang tampak berbeda jika bersama Namie. <br /><br />Ketika aku mencoba melirik ke arah mereka berdua, Mamoru langsung menjepit pipiku dan mengarahkan wajahku untuk terus menatapnya. Tatapan matanya menyiratkanku untuk tidak melihat mereka berdua. Setidaknya, bukan sekarang.<br /><br />Aku tersenyum lebar. Berusaha mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Dan dia ikut tersenyum senang, seakan mengatakan kau hebat.<br /><br /><i>Nee</i>... Mamoru. Kau lihat, kan? Aku benar-benar gadis yang kuat.<br /><br />Untuk kesekian kalinya, perasaanku kembali hancur lebur. Ryu yang membuatku jatuh, seakan membuatku jatuh lebih dalam, kemudian menguburku hidup-hidup. Kau tidak akan mengerti sehancur apa perasaanku. Perasaan ketika seseorang yang tak terduga datang dalam hidupmu, memberimu sesuatu yang pantas diperjuangkan, kemudian dirinya sendirilah yang menghancurkannya. Ah, mungkin aku saja yang terlalu berharap ya?<br /><br />Sudah kuduga, sesuatu yang senaif ini tidak cocok untukku. Aku sudah tidak peduli lagi. Perasaanku yang hancur membuatku merasa bahwa aku tidak akan bisa merasakan apapun lagi. Buta. Ia membuatku buta. Cinta yang menghancurkanku... bisakah ini berakhir? Aku sudah tidak menginginkan perasaan ini. Kalau bisa, aku tidak keberatan jika aku juga dilenyapkan bersama perasaanku.<br /><br />Dan sekali lagi...<br /><br />aku benar-benar gadis yang kuat, bukan?<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
</div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-12892149208537446312015-05-24T00:40:00.001-07:002015-09-29T04:07:45.261-07:00DiamSemakin kau memikirkan semuanya, semakin kau merasa jatuh pada lubang yang kau buat sendiri. Bayangkan saja, kau mulai mencicipi rasa benci. Semua akan terasa normal jika yang kau benci adalah orang lain. Tapi dalam kasus ini, dirimulah yang menjadi musuh terbesarmu.<br />
<br />
Tubuhmu memang satu. Namun siapa sangka ada seorang lagi yang berdiam dalam ragamu. Sebuah monster yang justru lebih mengerikan dari hal keji manapun, kini tersembunyi dalam matamu. Tersegel kuat, dan senantiasa menunggumu untuk kau membukanya. Sedikit saja kau lengah,<br />
semua lenyap. Tidak ada lagi yang akan mendekatimu. Tidak ada lagi kisah tentangmu. Tidak akan ada yang ingin mengingatmu.<br />
<br />
Bahkan, kau pun yakin bahwa kau tak akan ingin mengingat dirimu sendiri.<br />
<br />
Semua ini karenanya, sisi buruk yang selalu ingin kau sembunyikan. Susah payah kau mengontrol diri. Bersembunyi dan berlari. Berpura-pura lupa dengan realita yang pahit. Bersenang-senang dengan kebahagiaan semu. Tanpa tahu, bahwa hidupmu sedang dalam bahaya besar. Tanpa tahu, seseorang dalam dirimu sedang membuka paksa penjaranya.<br />
<br />
Kau bahkan sudah mengerti, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah kebohongan. Sudah berapa kali kau mengeluh lelah, mengenai betapa kau tidak mengerti dengan dunia ini. Terkadang kau merasa ingin diakui. Namun di saat lain semuanya terasa sia-sia, membuatmu berpikir bahwa menjadi yang tak terlihat adalah keputusan yang benar. Sudah berapa kali kau menerka, tentang bagaimana mencintai dunia ini, dan kemudian memantaskan diri dengan dunia. Dan kemudian belajar bagaimana mencintai dirimu sendiri.<br />
<br />
Namun pada akhirnya, kau hanya diam. Menutup hatimu dari siapapun, memanipulasi segalanya, lalu kembali membenci dirimu sendiri. Ini juga bukan pertama kalinya aku menyadari bahwa...<br />
diammu adalah jeritan yang paling memilukan<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<br />
<br />
<br />Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-86383654078367640842015-04-24T06:18:00.002-07:002015-09-29T04:02:37.204-07:00Benang<div dir="ltr">
Kalian seperti memiliki sebuah benang yang tak kasat mata. Terikat layaknya kalian tidak bisa menjauh satu senti pun. Mengapa bisa berbeda denganku? Tak ada benang apapun. Pada dasarnya memang sudah terpisah. Sekalipun menyatu, mungkin benang itu rapuh.<br />
<br />
Ia terikat,<br />
Kemudian lepas,</div>
<div dir="ltr">
Kemudian jatuh, <br />
Kemudian aku yang merasakan sakitnya.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Yang satu menangis, yang satu menghapus air mata.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Tapi tidak</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Aku menangis, ia tertawa.<br />
Aku tertawa, ia membenci</div>
<div dir="ltr">
<br />
Rasanya seperti,<br />
kesalahan kecilku terhadapnya... adalah sebuah dosa besar</div>
<div dir="ltr">
<br />
Kebahagiaanku adalah musuh terbesarnya</div>
<div dir="ltr">
<br />
Hidup nyamanku adalah sebuah kesalahan darinya</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Lantas,</div>
<div dir="ltr">
benang macam apa yang dulu pernah menyatukan kami?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: center;">
<br />
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-37144956406737636692015-03-08T01:39:00.001-08:002015-09-29T04:01:39.278-07:00Perasaan yang Kembali<div dir="ltr">
Sekarang aku mengerti. Apa yang bisa lebih buruk dari menunggu?<br />
<br />
Semua orang tahu bahwa menunggu memang melelahkan. Tapi apa mereka sudah mengerti? Apa yang bisa lebih melelahkan dari menunggu?</div>
<div dir="ltr">
<br />
Pagi itu terasa damai. Dengan sedikit menyeruput teh hangat, membuat pagi itu terasa lebih menyenangkan. Matahari tidak begitu terik kali ini. Hawa dingin tidak lagi membawa luka. Tidak seperti malam kemarin, ketika semua perasaan yang kau anggap sebuah bisikan sementara masih ada dalam diriku. Ketika perasaan itu hinggap dengan manis, namun pada akhirnya justru menggerogoti diriku sendiri.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Banyak hal. Begitu menyenangkan percakapan kita malam itu. Lewat panggilan video, kita bertukar pikiran. Semuanya... pada akhirnya menjadi memori saja. Semua lagu yang kau tunjukkan padaku, hingga saat ini masih berputar lembut di menjelang tidurku. Pesan singkat lama menjadi satu-satunya yang menghibur perasaanku. Pun jika aku menangis, siapa yang akan mengusapnya kalau itu bukan aku?</div>
<div dir="ltr">
<br />
Aku bahkan ingat. Jalan menuju apartemen yang kulalui itu adalah kali pertama kita bertukar pesan singkat. Kau adalah orang asing, dan aku pun begitu. Tapi percakapan hangat itu membuktikan bahwa kita sudah seperti kawan lama. Dan di ujung jalan apartemen, aku mulai menemukan diriku merasa tertarik dengan permainanmu.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Aku bahkan masih ingat. Panggilan <i>video </i>pertama kita berlangsung sangat lama. Pada awalnya aku tak mengerti. Siapa kau, dimana kau, bagaimana kau, dan beberapa pertanyaan tentangmu. Namun setelah semua berakhir, hal yang terlintas adalah mengapa.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
<i>Mengapa semua terasa manis?</i><br />
<i><br /></i></div>
<div dir="ltr">
Tapi pagi itu, sudah kesekian kalinya aku merasa damai. Setelah perasaanku padamu sirna, mungkin sejak awal tahun, aku merasa bebas. Perasaanku hanya meninggalkan abu, yang tinggal ditiup saja semua akan berterbangan. <br />
<br />
Sayangnya tidak. Aku terlelap dan terbangun pada pukul 2 siang. Sebuah mimpi berhasil menyeretku kembali pada ruang waktu. Aku seperti dihempaskan banyak kertas. Memaksaku untuk tidak membakarnya kali ini. Tidak ada abu lagi untuk ditiup. Perasaan itu utuh! Bersemayam kembali pada hati yang kosong.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau kembali menjadi hantu pada setiap malamku. Menjadi sebuah lagu wajib yang harus aku nyanyikan. Perasaan yang keberadaannya berarti, sekaligus belati yang menikam. Lantas apa yang harus aku lakukan? Aku takut, jika suatu hari nanti aku membaca surat tahunan yang selalu aku peruntukkan pada diriku sendiri, hampir separuhnya menceritakan bagaimana aku harus bertahan dengan perasaan cinta yang melelahkan.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Aku masih tak mengerti mengapa aku harus berteriak jika aku telah menemukan sebuah jarak. Tak akan pernah sampai, kecuali aku harus berteriak di hadapannya. Kata orang, menyatakan cinta hanya perlu berbisik. Biarkan angin yang membawa pesanmu. Tapi apa? Sekalipun itu angin topan, tak ada suaraku yang bisa menggetarkan dirinya.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-61293048807335494352015-01-02T06:10:00.000-08:002015-09-29T03:58:25.366-07:00You Ask, I Suspect, The Mountain Answer<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</div>
"Can you tell what the 'brave' is?" he said. That big guy made him little bit curios about this adventure, and especially the brave<br />
<br />
"It's not about the right time when you should attack, but it's about forgiving." he replied with reluctantly tone.<br />
<br />
"Am I afraid enough to hide myself from the darkness? so, where is the light that they were talking about?"<br />
<div>
<br /></div>
<div>
That tiny man almost pissed him off, but he stopped and stare right in his eyes.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Hear... they just were talking about a tale. The light, the darkness, the peace... it was a lie. They lied. The light that you were asking to is in your heart. If you don't make any move, you'll trapped by your own darkness. Did you understand? Now, let's go! Don't asking about something worthless. We should arrive to the mountain before the sunset. And without your babblement, of course." </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tiny man is just a tiny man. He could not slap that big guy face, or hitting him with all of the power he had even though he were angry. He always knew, physical attack doesn't effective for a big guy like him---attacking with those tiny body,pfft---, but ingenuity do.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
and--wait, ingenuity? That's it!</div>
<div>
<br /></div>
<div>
He picked a lithe root and ran onto the small hill. The root has been tied on the top of tree, it made the trees bow and blocking the footpath.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Hey, what are you thinking about? You blocked the way!"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"No, no, no! I'm not blocking. I will show you a shortcut" he laughed.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"You stupid tiny man. There is no shortcut! Get out my way!" the big guy got angry.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Indeed" </div>
<div>
<br /></div>
<div>
The big guy stare at him with anger. He thought he was tricked.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"A big guy like you, may not believe about the light, the darkness, or anything like that. and how do about little things, like shortcut way?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
He seemed little bit calm down, the tiny man smiled in victory.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Let's have a guessing game!"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Oh, come on! We don't have any time to do something like-"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"No, no! this game played with an agreement."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
He was in silence. Tired with this tiny friend behavior, but seemed excited with it.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"So, what's the agreement?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"If you win, I will show you the shortcut way. but, If I win..." the tiny man tapped his own chin. He pretended to thinking, and the big guy knew it. "You should answer my last question."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
The big guy laughed. What did he say? Answer his last question? It was a weirdest agreement ever.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Why do you laugh?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Because you are crazy. You are weird." he didn't stop laughing. This made the tiny man angry.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Okay, he felt not that smart either. He started to not care about ingenuity.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Why should I do this game? You always asking and I always answering you. Even though your question isn't worthless at all, but I keep answering you, right? You think that <i>'without your babblement' </i>is the last question that you could ask that time?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
the tiny man sighed. He was thinking too much.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Yeah.... yeah! I know! Stop laughing!"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
That command words made the big guy laughed louder and louder. And then, SLAP!</div>
<div>
<br /></div>
<div>
The tiny man slapped him.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hmm... he seemed doesn't care about ingenuity anymore, really. If a physical attack works on a certain moment, why not?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Stop laughing, I said! You big guy! Why'd you gonna be so impolite to someone smaller than you! Someone like me!"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Nope. It was because your short mind." He rubbed his cheeks. It doesn't hurt at all.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Okay! Okay! New agreement! I ask, you answer. If I satisfied with your answer, I will show you the shortcut!"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Hey! The one who is impolite is you, man! I don't allow you to change the agreement!"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"I don't ask for your approval."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"You stupid tiny man. Go ahead! What is your question?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
The tiny man take a deep breath. It seemed an important question.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"How if the light, the darkness, the peace, and the fairy tale they told are real?"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Silence. The big guy felt like laughing, but he didn't. This question is funny, but confusing at the same time. He started to doubt himself. They were lie? Yeah? It's just an answer with nonsense.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
If the answer is really <i>yes</i>, why should they gone this far? What are they searching for all this time? A mountain?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
No. There must be something important inside the mountain, but he didn't know anything about it. How if the light inside the mountain? or the darkness? or maybe, the mountain is a place where the light and the darkness came together?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
This would be a mystery. No, no!--not in forever. This gonna be resolved. Something they hide, something they find it again. Or they purposed it to be forgotten?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"So, what is your answer?" the tiny man waited.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"My answer is in that mountain." He saw the mountain from the distance.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"That mountain will answer all of our question."</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Our question? It's my ques-"</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Not again. Forget about our agreement. Now, you ask, I suspect, the mountain answer." He stare the mountain with the flash of excitement in his eyes. "Prepare yourself, tiny man. This gonna be a great adventure and a new '<i>fairy tale</i>' to be told!"</div>
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-40838161154958189122014-12-27T08:40:00.002-08:002015-09-29T03:54:04.735-07:00Sarah Akan KembaliManik birunya masih memandang ke luar jendela. Tak bosan-bosannya ia mengamati setiap air yang jatuh pada genangan itu, menyisakan suara yang familiar dan menenangkan untuknya.<br />
Hujan, membuatnya kembali pada kenangan lamanya.<br />
Ia masih ingat saat Sarah, teman masa kecilnya, yang tiba-tiba lari menghampirinya di halte dengan senyum lebarnya dan berucap,<br />
"mau bakso?"<br />
<br />
Dan sekarang ia tidak akan mencoba untuk mengingat apa yang terjadi selanjutnya.<br />
Hal yang sangat membahagiakan, sehingga ia terlalu takut untuk mengingatnya kembali.<br />
<br />
Bagaimana jika kebahagiaan itu sudah sirna?<br />
Bagaimana jika selamanya Sarah yang menyebalkan itu tidak akan pernah ada lagi untuknya?<br />
<br />
Itu membuatnya takut. Sangat takut.<br />
<br />
Dan sore itu, dalam ketakutannya, Sarah menghubunginya.<br />
<br />
Sudah lama sekali, ya. Sejak insiden itu...<br />
<br />
Mungkin Sarah terlalu sibuk. Ia sendiri tidak berani mengganggunya sedikit pun.<br />
Justru ia berpikir, jika ada yang membuat Sarah terganggu, ia lah alasannya.<br />
<br />
"hei! bagaimana keadaanmu?"<br />
<br />
Hening. Jangan salahkan dirinya jika ia terlalu sulit berbicara.<br />
<br />
Bukan. Bukan karena ia terlalu bahagia atau hal ini membuatnya diam.<br />
Lidahnya kelu, sakit, bahkan satu kata pun ia tak sanggup.<br />
Ia meremas ranjang miliknya, merasa ada yang salah.<br />
<br />
"baiklah. aku akan kesana."<br />
<br />
Entah mengapa bagian dari dirinya merasa tidak rela sambungan telepon Sarah terputus.<br />
Ia pikir, ini akan menjadi yang terakhir.<br />
Suara itu akan menjadi suara yang terngiang dalam tidur panjangnya.<br />
Tapi tidak. Semoga.<br />
<br />
Pandangannya kembali pada jendela. Hujan itu mereda, membuat hatinya mendadak tak karuan.<br />
Semua ingatannya kembali mengusik, namun kini ia masih berusaha tenang.<br />
<br />
Sarah akan kembali...<br />
<br />
Ia terus melafalkan kata itu, seakan Sarah adalah satu-satunya yang bisa ia harapkan sekarang.<br />
Memang benar. Sarah segalanya, untuknya.<br />
<br />
hingga ingatannya berakhir pada ucapan Sarah di telepon.<br />
<br />
Ah, suara itu...<br />
tenang sekali rasanya.<br />
<br />
Ia merasa akan lebih tenang jika menunggu Sarah dengan sedikit berbaring di ranjang berbau obat miliknya.<br />
Dengan sombongnya ia mengabaikan cairan infus yang kian menipis. Ia merasa tidak ada gunanya lagi bertahan dengan benda itu.<br />
Ia mulai menangis, namun tak mengerti apa hal yang ia tangisi.<br />
<br />
Dan sore itu ia terlelap, dengan air di sudut matanya, yang kini berhenti seiring hujan.<br />
Tak ada celah untuk matahari, semua gelap.<br />
tetesan terakhir itu akan menjadi pertanda, saksi, dan bukti...<br />
<br />
Bahwa hidupnya itu akan terasa lebih bermakna, jika saja ia tidak menuruti matanya yang berat selama menunggu Sarah kembali.<br />
Ketika matanya mulai terpejam, tak ada lagi memori yang terputar.<br />
Tak ada lagi suara Sarah yang terngiang.<br />
Satu hal yang membuatnya ingin menangis; bukan ini yang ia mau.<br />
<br />
Walau Sarah kini telah benar-benar kembali, mengapa ia yang harus pergi?<br />
<div>
<br />
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-76514778756687409182014-12-18T02:15:00.001-08:002015-09-29T03:51:00.988-07:00"Kau ini... ternyata rasa itu sudah tidak ada ya?"<div dir="ltr">
Sekalipun aku menangis, perasaan itu tak akan pernah sama lagi. Sekalipun aku berdiri di hadapanmu, kau tak akan melihatku dengan cara yang sama. Tatapan sendu itu, kini berubah tajam. Seolah aku adalah orang asing, yang tak akan pernah pantas untuk mendapatkan hatimu, secuil saja.</div>
<div dir="ltr">
Seolah aku adalah lagu lama, yang tak pantas lagi kau nyanyikan. Sehingga sesuatu yang mulai teredam, tak akan pernah lagi terdengar.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Sosokmu bukan lagi seperti yang dulu. Kupikir, sudah berapa lama waktu yang kujelajah tanpamu, sejak gadis itu datang.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Oh, hai kau yang disana?"</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Pernahkah aku bertemu denganmu?"</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Dan keduanya terdiam, saling memandang. Aku mencari kejujuran dalam matanya. Sedangkan ia menerka, siapa gerangan gadis berbaju lusuh ini?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Hei, ini aku. </div>
<div dir="ltr">
Aku yang tak pantas lagi kau tengok dan kau ingat sekalipun.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Ini aku.</div>
<div dir="ltr">
Aku yang masih sering mencarimu,</div>
<div dir="ltr">
Menunggumu,<br />
Menantimu</div>
<div dir="ltr">
Dan aku...</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau terbelalak, seperti pernah melihat sesuatu.</div>
<div dir="ltr">
<i>De Javu?</i></div>
<div dir="ltr">
kau pikir <i>de javu,</i> kan?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Dan sesaat kemudian, kau berjalan ke arahku</div>
<div dir="ltr">
Melewatiku, tanpa sepatah katapun.</div>
<div dir="ltr">
Disaat itu pula aku tersadar,</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
<i>Kau ini.... ternyata rasa itu sudah tidak ada, ya...</i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-81739390358913932462014-11-14T00:31:00.000-08:002015-09-29T03:48:09.142-07:00MaestroPagi itu, Rizal sedang menikmati hari minggunya dengan bersantai di depan rumah. Sesekali ia menyeduh teh hangatnya sambil membolak-balikkan sebuah majalah yang barusan ia dapatkan dari tetangganya. Hingga detik ini, tak ada satupun artikel yang menarik di matanya. Terkadang ia menguap begitu matanya terpaksa membaca salah satu artikel di sana. Membosankan, pikirnya.<br /><br />Ia pun memutuskan untuk mengakhiri kegiatan membacanya. Setelah dipikir lagi, sia-sia juga ia membuang waktu luangnya hanya untuk membaca majalah itu. Begitu ia beranjak masuk ke dalam rumah, bajunya tiba-tiba ditarik oleh seorang bocah laki-laki. <br /><br />“Kak, lihat nih!” seru bocah itu. “Ada nama toko musik papa disini!”<br /><br /><div>
Rizal menaikkan satu alisnya. Matanya mulai menyelidiki halaman yang dimaksud adiknya itu. Pandangannya tetap datar, sekalipun itu menyangkut perusahaan ayahnya, ia tetap tidak ada minat. Tidak sama sekali.<br /><br />“Papa hebat ya, kak! Tokonya bisa masuk majalah.” Serunya lagi. <br /><br />Berbeda dengan adiknya, Rizal sungguh tidak minat. Justru ia semakin muak melihat artikel itu.<br /><br />“Tidak ada hebatnya,” gumam Rizal. “Hanya artikel biasa.” Kemudian ia meninggalkan adiknya yang mulai memasang wajah tidak terima.<br /><br />“Aku yakin kak Rizal gak baca sampai akhir!”<br /><br />“Memang iya.” Jawab Rizal seadanya. Kini wajah adiknya semakin merengut.<br /><br />Entah sejak kapan Rizal begitu cuek dengan hal-hal yang justru penting dalam hidupnya. Ia tahu bahwa setelah ini dirinya akan menggantikan posisi ayahnya. Mau-tidak mau, siap-tidak siap, ia harus melakukannya, kan? Itu demi masa depan tokonya, keluarganya, dan tentunya masa depan dirinya. Walau Rizal sempat membantah dan menyatakan bahwa ia tidak akan pernah menggantikan posisi ayahnya, pada akhirnya ia tetap melakukannya. Rizal memang sudah bukan remaja labil. Umurnya saja sudah kepala dua. Tetapi jika ada hal yang menyangkut impiannya, ia akan goyah. <br /><br />Sekarang siapa yang tidak goyah jika impian masa kecilnya dihalangi oleh impian orang tuanya?<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />Sudah 3 tahun berlalu sejak kepergian sang ayah, dan sudah 3 tahun pula toko musik yang bersejarah di kotanya itu bangkrut. Rizal tidak tahu sudah kerasukan apa sehingga pikirannya untuk menggantikan posisi ayahnya hilang begitu saja. Justru kini ia meniti karirnya sebagai pemusik, dan lihatlah betapa terkenalnya ia sekarang. Bukan hanya hal positif saja yang dikenal darinya, tetapi juga hal negatif tentangnya.<br /><br />Tentu saja karena ia telah membiarkan toko musik ayahnya bangkrut tanpa ada yang menggantikan jabatan ayahnya.<br /><br /> Hal yang bodoh, ya?<br /><br /> Bahkan Rizal pun sempat merutuki dirinya sendiri mengapa ia tidak mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk menjalankan toko musiknya. Ia terlalu sibuk dengan keinginannya sendiri sehingga melupakan apa yang diamanahkan oleh ayahnya.<br /><br /> “Ayah, maafkan aku...” ucap Rizal lirih.<br /><br /> Ia duduk di depan foto ayahnya sambil tersenyum pahit.<br /><br /> “Bagaimana jika sekarang aku kembali membangun toko ayah?”<br /><br /> Ia sangat tahu, ayahnya tidak akan menjawabnya. Ia pun sangat tahu, foto itu pun tak akan memberikan jawaban apapun. Sekalipun ia mengusap bingkai itu dengan jempolnya, jari telunjuknya, ataupun jemari-jemari yang lain, ia tidak akan mendapatkan apapun.<br /><br /> Sekarang ia hanya bisa bertanya kemana hati nuraninya akan berlabuh.<br /><br />Jika salah satu pilihannya adalah kembali membangun toko itu, maka Rizal pun tahu jawabannya.<br /><br />“Ayah...,” Ia menghirup udara sejenak. “Aku akan mewujudkan kembali mimpi, ayah!” ucapnya mantap.<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br /><br /> Ia yakin bahwa ayahnya dahulu pasti bekerja lebih keras. Lihat saja dirinya sekarang. 4 tahun berlalu, toko musik yang kembali dibangunnya belum sukses juga. Padahal dulu ayahnya cukup membutuhkan 2 tahun, toko musiknya sudah dikenal hingga luar kota. Toko musik terlengkap dan terpercaya, ditambah lagi dengan pemilik toko yang hangat dan ramah seperti ayah Rizal, memungkinkan beliau untuk cepat menyedot banyak pelanggan, kan?<br /><br />Sayangnya Rizal tidak punya keahlian khusus untuk itu. Yang bisa ia lakukan adalah duduk, bermusik, meresapi lagu, dan membungkuk hormat ketika selesai bermain. Ia berhasil mendapatkan banyak atensi hanya dengan melakukan itu.<br /><br />Jika untuk bersosialisasi? Ups, Jangan ditanya...<br /><br />Rizal sangat buruk dalam hal itu.<br /><br />Lagi-lagi hal ini berbeda dengan adik kecilnya yang kini sudah berumur belasan tahun. Bocah periang ini memiliki senyum menawan dan kepribadian yang hangat. Banyak orang yang nyaman dengannya, sekalipun mereka baru bertemu dengannya dalam waktu 15 menit.<br /><br />“Kak, sepertinya kau terlihat lelah?” <br /><br />Rizal tersenyum lemah pada adiknya, kemudian menggeleng cepat.<br /><br />“Gak masalah kok. Kamu belajar aja. Katanya besok ulangan?” jawab Rizal. Ia kembali merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja kerjanya.<br /><br />“Besok ulangannya gampang kok!”<br /></div>
<div>
“Emang kamu tahu darimana?”<br /><br />“Nebak. Tapi kayaknya emang gitu! Habisnya gurunya kemarin ngasih tahunya sambil senyum-senyum gitu.” Jelas adik Rizal.<br /><br />Rizal pun tergelak. Setelah dipikir-pikir lagi, adiknya ini kadang kurang nyambung juga kalau diajak bicara.<br /><br />“Bukannya kalau seperti itu justru semakin mencurigakan?” tanya Rizal sambil menaikkan satu alisnya. Berusaha meyakinkan untuk menarik kembali semua ucapan bocah itu.<br /><br />“Ah, sudahlah! Pokoknya kau bisa mengandalkanku, kak!”<br /><br />Rizal kembali terkekeh. Adiknya yang satu ini memang keras kepala.<br /><br />“Ya sudah. Jaga toko bentar, ya. Aku tidur dulu.”<br /><br />Ia pun akhirnya berganti <i>shift</i> dengan adiknya, kemudian beristirahat di kamarnya. Ia sempat berlatih semalaman untuk konsernya yang akan diadakan bulan depan. Konser yang diadakan adalah konser tunggal akbar, sehingga Rizal pun tidak bisa menganggapnya remeh.<br /><br /> Ia rasa, dengan adanya adik kecilnya itu, pekerjaannya bisa terasa sedikit lebih ringan.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<br />Rizal duduk termenung di kamarnya. Kira-kira apa yang bisa ia lakukan untuk meningkatkan pelanggan di tokonya? Semua ini membuatnya depresi. Ia merasa takut gagal dan ingin berhasil di waktu yang sama. Bahkan sekarang ia hampir menelantarkan karir bermusiknya. Atau mungkin ia hanya tidak terbiasa dengan memiliki dua pekerjaan? Ia jadi berpikir, jika ia sudah berkeluarga sekarang, mungkin pikirannya akan lebih bercabang banyak.<br /><br /> Pagi itu ia kembali membuka tokonya. Ia berdoa supaya hari ini ada banyak pelanggan yang datang. Karena hari ini ia akan berada di dalam tokonya hingga sore. Mau-tidak mau ia harus merelakan latihan musiknya untuk konser minggu depan.<br /><br /> Begitu membuka pintu toko, adiknya berhambur masuk mendahului Rizal. Bocah itu langsung saja duduk dan memainkan piano yang ada di sudut ruangan. Melihat itu, pelipis Rizal berkedut kesal. <br /><br /> “Kau ini... Kenapa tidak membiarkan pemilik toko masuk duluan, sih?” ucapnya sambil menghampiri meja kerjanya.<br /><br /> “Aku sudah tidak sabar main piano di sini.” Jawab adiknya dengan cengiran lebarnya.<br /><br /> “Kesambet apa kamu sampai mau main musik begitu?”<br /></div>
<div>
“Kemarin aku mimpi. Aku terlihat keren sekali kalau bermain piano.”<br /><br />Rizal melirik adiknya. Walaupun terdengar payah, tapi adiknya terlihat menikmati permainannya.<br /><br />Baru saja ia ingin menegur adiknya dan mengingatkan bahwa itu adalah properti toko, tiba-tiba saja ada sesuatu yang muncul di kepalanya yang telah membuatnya mengurungkan niat. Ia baru saja mendapat ide yang bagus dan ia terlihat sangat yakin dengan itu. Ia berjalan mendekati adiknya dan duduk di sebelahnya. <br /><br />“Mau duet?” tanya adiknya bak seorang profesional. Rizal hanya tertawa.<br /><br />“Dengan senang hati, maestro kecil.” Jawabnya.<br /><br />Mereka pun bermain piano bersama. Asal-asalan, namun mereka menikmatinya. Dengan ini ia semakin yakin, ia akan membidik targetnya dengan mudah.<br /><div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<br /><br /> Semua sudah disiapkan. <i>Grand piano</i> putih milik Rizal sudah diletakkan di depan toko. Adiknya terlihat sedang merapikan <i>tuxedo</i> hitamnya dengan –lagi-lagi terlihat- profesional.<br /><br />Rizal terkekeh memandangi adiknya itu. Apa mungkin adiknya memiliki minat yang sama dengan dirinya? Ia rasa adiknya tidak buruk juga untuk menjadi seorang pemusik.<br /><br /> “Maestro kedua, apa kau siap?” tanya adiknya sambil melihat ke arah pengunjung yang mulai berdatangan. Anehnya, ia menomor-duakan seseorang yang justru seorang maestro handal.<br /><br /> Rizal tersenyum dan mengangguk mantap. Ia menepuk pundak adiknya.<br /><br /> “Waktu dan tempat dipersilahkan.” Ucap sang maestro.<br /><br /> Adiknya pun berlari ke arah kerumunan pengunjung. Ia menarik perhatian dengan keahlian alaminya itu, sementara Rizal sudah siap untuk memainkan lagu pertamanya. <br /><br />Begitu adiknya memberi sinyal, Rizal mulai bermain pianonya. Ia sengaja mengambil lagu dari salah satu lagu konsernya agar ia bisa berlatih dua acara sekaligus.<br /><br />Rizal meresapi permainannya dan tubuhnya ikut bergerak sesuai lagu. Para penonton mengangguk menikmati permainannya. Adik kecilnya memberi brosur kecil dari tokonya pada seluruh penonton yang ada. Terkadang bocah itu juga berbincang dengan beberapa dari mereka.<br /><br />Begitu Rizal selesai memainkan lagunya, ia diam di tempatnya untuk memberi jeda. Kemudian ia mulai berdiri dan membungkuk pada penonton, diiringi dengan suara tepuk tangan yang meriah.<br /><br />“Terima kasih,” ucap Rizal. <br /><br /> “Tapi masih ada satu menu utama yang akan kami hidangkan untuk anda semua.” Lanjutnya sambil tersenyum misterius. <br /></div>
<div>
Para penonton mulai terdengar riuh, saling berbisik dan menerka apa yang akan dilakukannya kali ini.<br /><br />Rizal pun memberi sinyal kedua. Adiknya yang mengerti langsung tersenyum penuh semangat dan menghampiri kakaknya. Mereka membungkuk pada penonton, kemudian duduk berdampingan di kursi piano. Rizal mulai memainkan nada pembuka. Setelah itu, diikuti adiknya yang memainkan nada rendah. <br /><br />Dan, ya! mereka akhirnya benar-benar duet.<br /><br />Permainan mereka terdengar menyatu dan seirama. Berbeda dengan saat pertama kali berduet di toko. Rupanya keduanya sudah menyiapkan hal ini dari jauh-jauh hari. Siapa lagi kalau bukan Rizal yang memberi bimbingan kilat pada adiknya? Permainan adiknya sudah jauh lebih baik daripada yang kemarin. Dan adiknya yang kepedean itu sudah menyebut dirinya seorang maestro. Dasar bocah.<br /></div>
<div>
Penonton terlihat semakin menikmati permainan piano mereka. Lagu yang terdengar sedih itu mulai berubah menjadi menyenangkan. Penonton kembali mengangguk-angguk menikmati setiap ketukan yang direalisasikan dengan sebuah<i> staccato</i>, alias sebuah hentakan cepat dan keras pada tuts. Hingga mereka berada pada bait lagu yang memerlukan transisi. Mereka bermain lembut, kemudian pelan-pelan bermain keras, dan akhirnya berakhir pada hentakan keras.<br /></div>
<div>
Tepuk tangan dari para penonton langsung saja terdengar begitu mereka menyadari permainan selesai. Semua berteriak riuh dengan berbagai komentar yang positif. Hal ini membuat kedua maestro ini tersenyum puas. Mereka berdua berdiri, kemudian bersama-sama membungkuk. <br /><br />“Lagi! Lagi! Lagi!” Teriak para penonton. Suasana di depan toko semakin ramai, dan para pengunjung semakin bertambah banyak. <br /><br />Dua bersaudara itu saling memandang. Seakan mengerti satu sama lain, mereka menangguk mantap.<br /><br />“Ayo jalankan rencana B!” gumam mereka.<br /><br />Hal yang tak terduga itu benar-benar terjadi. Walau pada awalnya Rizal tidak yakin, tapi ia merasa tidak ada salahnya menambah lagu lain ketika <i>perform</i> utama mereka selesai. Kini ia kembali bermain, membuatnya merasa senang.<br /><br />Namun ia masih belum membidik targetnya. Ini masih langkah awal. Dan tentu saja promosi dengan cara seperti ini akan terus berlanjut dengan banyak variasi. Ia pasti akan melakukannya lagi dengan adik kecilnya. Ia juga merasa bahwa ia bisa mewujudkan dua impian sekaligus. Ia jadi merutuki dirinya sendiri mengapa baru terpikirkan sekarang.<br /><br />Tapi, itu tidak penting. Yang penting adalah... <i>we should keep forward, right?</i><br /><br />.<br /><br />.<br /><br />.<br /><br />.<br /><br /><br /><i>Ayah, aku akan terus berusaha.<br /><br /><br />Dan kini kusadari...<br /><br /> Hati nuraniku berlabuh pada dua dermaga.</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<div style="text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Trebuchet MS, sans-serif;"><br /></span></div>
</div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-2454000493905939362014-11-03T23:32:00.001-08:002015-09-29T03:39:26.738-07:00Delusi<div dir="ltr">
Rumit. Menyakitkan. Mungkin kau belum tahu rasanya dipermainkan oleh perasaanmu sendiri. Kau akan mengatakan, <i>tidak. Aku tidak mencintaimu</i>. Padahal yang sebenarnya kau justru ingin berteriak,</div>
<div dir="ltr">
<i>tidak. Aku memang mencintaimu</i>.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau akan membencinya Kemudian kembali mencintainya pada esok hari. Kau bisa melupakannya di pagi hari, kemudian kenangan itu terputar kembali pada malam hari. Dan pada akhirnya, melanjutkan delusi adalah pilihan yang terbaik daripada memejamkan mata. Kau tidak tidur malam itu. Dengan bodohnya kau justru membuka pesan lama yang tersimpan dalam ponselmu. Seakan kau menikmati rasa sakitmu, kau tetap terus membongkar kenangan lama. Walau kau tahu kau hanya bisa hidup dalam kenangan, Dan bukan ditakdirkan untuk kembali.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Membayangkan bagaimana ia mencintaimu. Datang bagaikan pangeran, atau pergi bagaikan pahlawan. Dan kau adalah seorang permaisuri baginya, tanpa adanya selir. Kau yang menempati singgasana hatinya. Ia tak akan membiarkanmu meninggalkannya Mencegahmu dengan sikap posesifnya yang manis. </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau tersenyum bahagia. Dan ia ikut tersenyum bahagia. Orang sekelilingmu menyanyikan lagu gembira. Bersuka cita pada perasaanmu yang tak terungkap. </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Dan kau percaya...</div>
<div dir="ltr">
Delusi itu akan terus berlanjut<br />
Membuatmu merasa lebih baik... membuatmu merasa senang<br />
Itupun jika kau tak banyak menaruh harapan pada delusimu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-90859793086619404502014-07-19T05:58:00.000-07:002015-09-29T03:36:10.275-07:00A House For Return<div style="text-align: center;">
<i>Aku ingin kembali pulang</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Namun kini,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>seperti yang kau tahu...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku sudah tak punya tempat untuk kembali</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku rasa... ini menyedihkan</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Tapi apa yang harus kulakukan terhadap kenyataan ini?</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Bahkan aku tak pernah meminta.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Masih haruskah aku menerimanya sendirian?</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Mereka pergi disaat aku merindukan bagaimana rasanya bahagia.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Bahagia menjadi bagian dari keluarga ini</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Bahagia merasakan kebersamaan di meja makan.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Bahagia ketika Ibu menyambutku pulang.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Dan kini...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Jangankan tempat untuk kembali,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>bahkan mereka pun turut menghilang dari semuanya.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dan merenggut habis senyuman dari wajahku.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Mungkin mereka tidak seberapa paham,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dengan bagaimana membahagiakan putri milik mereka satu-satunya.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Mungkin mereka juga tidak seberapa mengerti,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dengan bagaimana cara memahami sebuah kebahagiaan...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dari putri tunggalnya...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>yang kini sudah jelas-jelas sirna.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Sejak kecelakaan itu, hah?</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Yah, sejujurnya...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Kupikir ini hanya lelucon.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Kecelakaan itu hanya lelucon.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Senyuman terakhir mereka adalah hal yang lucu.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Mobil yang rusak itu hanyalah sebuah rekayasa.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Kupikir... aku memang sedang berada di antara keluarga pelawak</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>yang sewaktu-waktu membuatku tertawa hingga menangis.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dan sejujurnya...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku juga tidak paham...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Apakah aku benar-benar sedang tertawa saat itu?</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>***</i></div>
<br />
<br />
"Hikari!"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Apa kau baik-baik saja?"<br />
<br />
<i>Mungkin seperti itu</i><br />
<i><br /></i>
"Aku turut berduka cita atas kematian kedua orang tuamu. Kau pasti sangat terpukul akan hal ini"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Kau pasti sangat sedih, kan?"<br />
<br />
<i>Siapa?</i><br />
<i><br /></i>
<i>Siapa yang kau bilang sedih?</i><br />
<br />
"Jika kau butuh bahu untuk bersandar, ada aku di sini."<br />
<br />
<i>Siapa?</i><br />
<i><br /></i>
<i>Siapa yang sedang butuh bahu?</i><br />
<br />
"Jangan menangis lagi!"<br />
<br />
<i>Siapa yang menangis?</i><br />
<i><br /></i>
"Hikari?"<br />
<br />
<i>Siapa?</i><br />
<br />
<i>......Siapa?</i><br />
<i><br /></i>
Ia memelukku. Meminjakanku bahunya, seperti apa yang ia katakan sebelumnya. Bodoh...<br />
<br />
"Hikari... sudah! jangan berpura-pura tegar seperti itu. Ada aku di sini... Menangislah!"<br />
<br />
Dia memang bodoh, juga sok tahu. Apa yang sedang ada di pikirannya?<br />
<br />
"It's okay not to be okay, right?"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Hikari?"<br />
<br />
"...b-bodoh!"<br />
<br />
Aku mendorongnya dengan kasar, kemudian berlari menjauh. Aku bisa mendengarnya berteriak memanggil namaku. Aku yakin, kini ia sedang mengejarku.<br />
<br />
<i>Sudah kubilang, kan? Dia benar-benar bodoh!</i><br />
<br />
Aku berhenti berlari. Sudah lama aku tidak berlari seperti ini, membuatku merasa begitu lelah. Ia menarik tanganku dan membawaku menuju bangku halte. Tatapannya begitu sendu ketika melihatku. aku tidak mengerti mengapa ia menjadi orang yang bersedih ketika akulah yang mendapat musibah.<br />
<br />
"Aku tahu..."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Kalau kau sedih dan ingin menangis, sudah kubilang menangis saja!"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Hikari?"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Apa kau benar-benar mendengarku?"<br />
<br />
"Diam, bodoh!"<br />
<br />
Ia tersentak kaget mendapatiku membentaknya. Alisnya bertaut, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dan sekarang, ia benar-benar diam.<br />
<br />
"Kau ini benar-benar sok tahu." ucapku pelan. Ia hanya menghela nafas.<br />
<br />
"Tidak boleh, ya?"<br />
<br />
"Tidak!"<br />
<br />
Ia tersenyum simpul, kemudian menepuk pelan kepalaku.<br />
<br />
"Hei, bocah! Kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu padaku selamanya. Kalau kau sedang lemah, akui saja."<br />
<br />
"Apa urusanmu?!"<br />
<br />
"Sudah kubilang kalau kau ingin menangis, lakukan saja! Apa sulitnya, sih?"<br />
<br />
"Aku tidak ingin!"<br />
<br />
...<br />
<br />
Jeda beberapa waktu. Ia menoleh padaku dan memberikan tatapan tajam itu. Walaupun terasa menakutkan, tapi aku tidak akan terpengaruh. Ia hanya mencoba menginterupsiku, kan?<br />
<br />
"Kau ini.....tch!"<br />
<br />
Ia mendecih kesal. Aku masih berusaha tidak terpengaruh. Perlahan, ia pun meraih kepalaku dan menyandarkanku pada bahunya.<br />
<br />
"Mereka memang meninggalkanmu, tapi aku tidak. Aku masih di sini!"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Hikari... Aku masih di sini."<br />
<br />
<i>Rasanya, ada sebuah dinding...</i><br />
<i><br /></i>
<i>yang kini perlahan runtuh karenanya.</i><br />
<br />
Aku memeluknya dan mulai menangis. Aku memeluknya, seakan aku sedang memeluk mereka, dan seakan aku tidak akan melepaskannya kembali. Aku menangis, benar-benar menunjukkan bagaimana perasaan kehilangan terhadap orang-orang yang disayangi. Aku tidak bisa menganggap sepenuhnya kematian mereka adalah lelucon. Satu hal yang kusadari, ini adalah realita. Aku hidup dalam realita menyakitkan ini. Dia satu-satunya orang yang bersedih ketika akulah yang seharusnya bersedih, dan dialah yang kembali menyadarkanku bahwa ini adalah kenyataan pahit yang harus kutelan bulat-bulat.<br />
<br />
"Aku tidak tahu..."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Aku tidak tahu mengapa hal seperti ini harus benar-benar datang di saat yang tidak tepat."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Kau tahu sendiri, kan? Mereka kembali bersatu sejak perceraian itu."<br />
<br />
...<br />
<br />
Ia masih diam. Aku semakin memeluknya dengan erat.<br />
<br />
"Kami memasak bersama, bercanda di meja makan, menonton film komedi bersama, menanam bunga bersama, jalan-jalan bersama di festival musim panas..."<br />
<br />
Ia mengeratkan pelukannya, begitu pun aku. Seakan ia mengerti dengan lemahnya aku sekarang.<br />
<br />
"...Semuanya terasa menyenangkan"<br />
<br />
...<br />
<br />
"Dan sekarang aku tidak punya jalan kembali."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Aku tidak bisa pulang."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Aku tidak punya tempat untuk pulang."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Aku..."<br />
<br />
Aku kembali menangis. Kali ini lebih keras. Berharap mereka bisa mendengarku dari atas sana. Berharap kali ini mereka mengerti betapa sakitnya aku, mereka tinggalkan untuk kedua kalinya...<br />
<br />
"mengapa?" tanyanya.<br />
<br />
"Tentu saja kau masih punya."<br />
<br />
Aku mendongak untuk menatap wajahnya yang berada lebih tinggi dari kepalaku. Aku tidak mengerti mengapa di saat seperti ini ia malah tersenyum lembut.<br />
<br />
"Tapi, jika aku pulang... Aku akan selalu mengingat mereka." jawabku.<br />
<br />
"Bukankah itu yang kau mau?"<br />
<br />
"Tidak. Aku hanya ingin kebersamaan kami yang sesungguhnya."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Aku takut pulang."<br />
<br />
Ia mengusap air mataku pelan. Sungguh, aku tidak mengerti mengapa senyum lembut itu masih terpatri di wajahnya.<br />
<br />
"Kalau begitu, aku akan menemanimu pulang."<br />
<br />
"...A-Apa?!"<br />
<br />
"Kau memang tidak bisa kembali pada saat membahagiakan itu. Tapi kau masih bisa mengenangnya, kan?"<br />
<br />
....<br />
<br />
"Semua orang mengerti bagaimana perasaan kehilangan, terlebih itu adalah orang yang kita sayangi. Kau tidak selamanya bisa lari dari tempat di mana kau berasal. Suatu saat kau pasti kembali dan mengingat kenangan itu."<br />
<br />
Aku menunduk. Ia memang benar.<br />
<br />
"Tapi, menurutku... daripada kau lari dari semuanya, lebih bagus jika kau hidup bersama kenangan mereka."<br />
<br />
Ia mengangkat wajahku dan menampakkan kembali senyum lembutnya itu.<br />
<br />
"Kalau kau masih merasa takut dengan itu, aku akan bersedia menemanimu menangis, hingga kau berhasil menyadari bahwa perasaan kehilangan itu tidak selamanya menyakitkan. Kau akan mengerti dan belajar. Ada hal menyenangkan yang menantimu di masa depan. Orang tuamu pun akan mengawasimu dari atas sana."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Suatu saat kau pasti akan tahu... Kenangan mereka akan selalu berada dalam hatimu, kemudian menjadi sebuah dukungan tersendiri untukmu."<br />
<br />
...<br />
<br />
"Bahagiakanlah mereka dengan hal baik yang kau lakukan di dunia. Percayalah, mereka selalu mengawasi setiap langkahmu dari Sana."<br />
<br />
Aku kembali meneteskan air mata. Pandanganku masih tidak bisa lepas darinya, dan kata-katanya terus terulang dalam pikiranku.<br />
<br />
"Masih belum puas ya nangisnya?" ucapnya sambil mencubit pipiku.<br />
<br />
"Tidak! Aku sedang bahagia! Terima kasih..."<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
.</div>
<div style="text-align: center;">
.</div>
<div style="text-align: center;">
.</div>
<i><br /></i>
<br />
<div style="text-align: center;">
<i>Aku tersenyum lebar.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku sangat berterima kasih padanya.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i> Mungkin kebahagiaan di rumah kami sudah sirna begitu saja. </i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Namun, kenangan mereka akan tetap di hati, kan? </i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Perasaan bahagia dan sedih yang bercampur aduk ketika mengingatnya,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i> membuatku takut untuk pulang.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Tapi kini, ada seseorang yang membangun sebuah rumah baru untukku</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i> tanpa harus membongkar rumah lama. </i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Rumah...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i> sebuah tempat untuk kembali.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Ya! </i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Sekarang aku tahu...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku sudah punya tempat untuk kembali.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku sudah punya alasan untuk pulang</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Alasan itu...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Adalah pria ini, teman masa kecilku</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dan kenangan orang tuaku,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dan kebahagiaan mereka di atas sana.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku tidak tahu mengapa...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Rasanya,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>ketika berada di dua alam yang terpisah,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>aku tidak hanya merasa hidup dalam kenangan...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Namun,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Aku merasa mereka selalu mengawasiku</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>dan mereka selalu berada di sampingku...</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>2 Kursi kosong di meja makan itu, mungkin akan selamanya kosong</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Tapi aku yakin,</i></div>
<div style="text-align: center;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Hatiku tidak akan pernah kosong oleh mereka.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5807246568149363534.post-29864418168456901532014-06-16T11:00:00.000-07:002015-09-29T03:35:41.004-07:00Bagian Dari Masa LaluDia adalah bagian dari masa lalu yang tak akan pernah bisa kuhapus. Bagaimanapun caraku untuk melupakannya, justru semakin membuatku menelan pahitnya rindu. Aku tidak mengerti dengan perasaannya padaku. Berharap lebih adalah ketika aku menginginkannya untuk memiliki rindu yang sama. Tentu saja hal itu adalah harapan yang tak akan pernah terwujudkan. <br /><br />Mungkin ia perlu tahu bahwa ada seorang gadis yang menunggunya. Berusaha untuk tidak menaruh harapan apapun padanya, namun tetap menjadi satu-satunya orang yang tersakiti. Mungkin ia memang tidak bermaksud apapun, atau bahkan tidak berniat untuk menyakiti gadis itu sedikit pun. Dan mungkin gadis itu belum sepenuhnya menyadari bahwa cintanyalah yang telah membuat dirinya terluka. <br /><br />Kupikir memang sudah waktunya aku benar-benar belajar untuk merelakan seseorang yang berharga dalam hidupku. Suatu saat, jika aku boleh meminta, bisakah Tuhan memberikanku kebahagiaan yang berlipat ganda, ketika takdir mengharuskanku untuk melihatnya bahagia bersama orang lain? <br /><br /><div>
Bahagia bila melihatnya bahagia, itulah yang benar-benar kuminta.<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="color: #0b5394;">Transparent Butterfly</span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>
Zi Krianyhttp://www.blogger.com/profile/03014141594325684622noreply@blogger.com2