Kadang aku berpendapat bahwa hujan dapat meredam semuanya.
Membasahi dan membersihkan apa yang bahkan tidak dapat dikikis oleh waktu.
Namun di sisi lain, hujan adalah sebuah perkara sulit. Ia tidak menyembuhkan
apa-apa.
Suara itu, suara hujan, kembali meredam senandung kecilku
dan meninggalkan jejak basah di rok seragam sekolahku. Aku mencoba ikut memikirkan
apa yang sedang dirasakan olehnya sampai-sampai ia bersedih dan terlihat sangat
marah. Ia, langit, tidak bisa henti-hentinya menangis dan bergemuruh.
Maafkan
aku. Dengan pikiranku yang sedikit kalut, kali ini aku tidak bisa memikirkan
apapun tentang hujan seperti biasanya. Ia sudah cukup menorehkan luka.
Sebab mereka sangat ajaib. Air-air itu seakan
memiliki sihir. Menyeretku kembali pada ruang waktu, kemudian mengingatkanku
pada hal yang tidak sepatutnya diingat. Sungguh, bukan maksudku untuk
menghindari apapun. Hanya saja segala memori yang datang dan pergi, terasa
begitu halus dan menyakitkan. Perlahan tapi pasti, entah dari arah mana, tiba-tiba
saja ia menamparku. Begitulah pengandaiannya. Tapi aku hanya melebih-lebihkan,
jadi lupakan saja. Intinya hujan itu sangat menyakitkan.
Aku masih berdiri di depan koridor sekolah. Sedikit berharap
ada seseorang yang meminjamkan payungnya untukku. Atau bisa saja, setelah aku
membawa pulang payung itu, aku akan bertemu dengannya lagi besok.
Klise, bukan? Salahkan hujan. Mengapa karenanya semua
menjadi begitu melankolis?
Jam menunjukkan pukul 5 sore. Kalau aku tidak segera pulang,
aku akan melewatkan makan malam favoritku hari ini. Ditambah lagi, Ibuku yang mudah
khawatir itu akan memasang wajah cemberutnya nanti. Mungkin pada awalnya itu tampak
menggemaskan, tapi sungguh, itu pertanda buruk!
Dengan meneguhkan hati, aku pun memejamkan mataku. Otakku
penuh dengan perdebatan antara iya dan tidak. Antara aku harus memikirkan
konsekuensi atau justru membiarkannya mengalir begitu saja. Berusaha tidak
peduli, yang penting aku bisa pulang sekarang. Aku lebih tidak bisa membayangkan
bagaimana Ibuku menangis karena khawatir ataupun makanan favoritku menangis
karena tidak dimakan.
Aku pun membuka mataku, kemudian melangkahkan kakiku dari
lantai koridor sekolah. Tidak peduli sepatuku akan basah nantinya. Tidak peduli
bagaimana jika aku terjatuh di kubangan berlumpur mana saja. Tidak peduli
apakah aku akan terkena flu atau tidak. Aku ingin pulang.
Aku berteriak dan mencoba berlari menembus hujan. Tapi
gagal. Ada sesuatu yang menahan tasku, lalu menarikku sehingga aku terjungkal dan
jatuh ke belakang.
Sora. Lagi-lagi dia berulah. Aku melotot sebal dan mendorongnya
dengan kesal.
“Minggir! Aku ingin pulang!” bentakku padanya dan mulai
mencoba berlari menembus hujan.
Ucapanku tidak digubris olehnya. Ia justru kembali menahan
tasku dan menarikku lebih jauh. Untung saja kali ini aku masih bisa berdiri di
atas kedua kakiku. Tapi perlakuannya itu sungguh membuatku kesal.
“Di sini saja. Masih hujan, tuh.” Gumamnya tanpa melihatku.
Ia masih memandang kosong ke arah hujan.
Aku mendengus.
“aku ingin pulang.” Ucapku lagi.
Ia menoleh padaku dan menaikkan satu alisnya.
“Masih hujan.” Tukasnya.
“Pulang!”
“Hujan.”
“Pulaaang!” teriakku padanya.
Ia pun hanya menghela napas, kemudian memasukkan satu
tangannya ke dalam saku jaket biru dongkernya. Ia kembali memandangi hujan.
Hening. Tidak ada siapapun di antara kami yang berminat
untuk memulai percakapan. Mungkin ia sudah tenggelam dalam pikirannya.
Sedangkan aku, hanya melihat punggungnya yang terhalang tas sekolahnya. Aku
menerka apa yang sedang dipandangnya, atau, bagaimana ekspresinya saat ini
ketika melihat hujan? Apa terlihat sendu sepertiku? Apa ia punya kenangan pahit
dengan hujan? Dibanding itu, sebenarnya aku lebih tertarik dengan punggung
miliknya.
Punggung itu pernah menopangku. Aku yang dulu pernah
terjatuh dari tangga, pernah digendong olehnya. Aku masih ingat bagaimana
kakiku yang terkilir dan susah untuk dibuat berjalan, ia datang dengan berlari
untuk membantuku berjalan. Dan Sora, yang kukenal sebagai orang yang tidak
sabaran, akhirnya memutuskan untuk menggendongku menuju UKS karena tidak
sanggup menungguku berjalan dengan sangat pelan. Aku juga masih sangat ingat
bagaimana harum rambutnya. Aroma jeruk. Aku tidak tahu shampoo macam apa yang sudah dipakainya, tapi aromanya sungguh
menyenangkan.
Aku pun tahu bahwa jeruk adalah buah favoritnya juga. Kala
itu, jam istirahat pertama setelah pelajaran olahraga, aku lupa membawa bekalku.
Sora datang memberikanku kotak bekalnya.
“Makan lah! Aku tidak suka lauknya.” Ucapnya.
Tentu saja aku marah karena aku tahu ia berbohong. Selama
ini ia menyiapkan bekalnya sendiri. Tidak mungkin jika ia tidak menyukai lauk
yang sudah ia buat sendiri, bukan? Ia pun memintaku untuk menyuapinya.
Lagi-lagi aku marah. Dan ia pun hanya tertawa dan memberiku jeruk.
“Aku lebih suka stroberi.” Ungkapku ketus.
Ia hanya tertawa.
“Aku suka jeruk. Jeruk atau stroberi, yang penting kamu
tidak mengeluh lapar lagi.” Katanya. Ia meletakkan buah jeruk itu di atas
kepalaku. “awas jatuh,” lanjutnya, yang kemudian tersenyum dan meninggalkanku.
Aku tidak mengerti mengapa aku diberi buah jeruk olehnya.
Apa buah jeruk bisa menunda lapar? Apalagi dengan senyum itu. Aku tidak tahu
mengapa senyumnya tampak sangat berbeda. Dan, yah, aku lebih tidak mengerti,
apa aku pernah mengeluh lapar di depannya?
“hei.” Sapanya. Ia membuyarkan semua lamunanku tentangnya.
Dengan posisi yang tidak berubah, dengan masih memandang
hujan, ia mencoba memulai percakapan denganku.
“Aku tahu perihal hujan.” Ungkapnya.
Aku terdiam. Mataku melebar mendengar itu. Padahal sudah
kututup rapat-rapat sehingga tidak ada siapapun yang bisa menyadarinya.
Lagipula perasaan itu sudah sangat lama. Perasaan yang kuatur sedemikian rupa sehingga
tampak sudah menguap dan hilang, kini ia jabarkan dengan gamblang di depanku.
Aku berusaha lupa dengan bersikap bahwa aku sudah lupa. Ia mengatakannya dengan
halus, tapi aku tahu ke mana inti pembicaraan ini.
“Tahu apa?”
Aku pura-pura tidak tahu saja. Toh, ia tidak melihatku tepat
di kedua mataku. Ia tidak akan tahu bahwa aku berbohong atau tidak, bukan?
“Kouu.”
Mataku melebar untuk kedua kalinya. Pandanganku mulai
mengabur. Punggung Sora dan hujan, aku tidak bisa membedakannya. Sontak aku
mengusap kedua mataku yang mulai basah
entah karena apa. Sungguh, aku tidak ingin mengakui bahwa ini air mata. Apalagi
hanya karena mendengar nama itu. Aku tidak menangis. Kouu, yang berarti hujan,
aku sangat heran mengapa nama itu terdengar sangat menyakitkan saat diucapkan
bersamaan dengan suara hujan.
Aku tidak mau mengingatnya. Aku sudah lupa. Aku berusaha
mengatakan bahwa aku sudah lupa. Memori itu, membuat dadaku terasa sakit dan
beku. Untuk beberapa saat ia tidak berdetak. Tapi untuk beberapa saat, ia
menyentak sangat keras. Kau tahu? Perasaanku sudah beku, keras, terasa tidak
berdenyut. Tapi perih itu masih sangat betah bersemayam di dalamnya. Membuatku
menerka, kehangatan macam apa yang bisa melelehkan semua ini? Kecuali jika itu
hujan. Ia akan luntur terbawa hujan. Kubilang hujan adalah perkara sulit. Tapi
nyatanya, hujan yang kuharapkan untuk melunturkan hati yang beku, kini sudah
tak ada lagi di tempat yang sama.
“Memangnya apa yang kamu lihat dari berandalan itu?”
tanyanya. Ia membalikkan badannya dan menatapku tajam.
Aku mencoba memahami pertanyaannya. Kedua mata itu membuatku
ikut memikirkan apa yang sedang dirasakan olehnya sampai-sampai ia bersedih dan
terlihat sangat marah. Aku pun tidak tahu. Seharusnya aku menjawab apa? Hatiku mengatakan
bahwa aku mencintai Kouu, tapi otakku sama sekali tidak menyetujui perasaan itu.
Jadi, apa yang harus kukatakan? Pada akhirnya, aku tidak punya alasan mengenai
bagaimana caraku mencintai Kouu, meskipun ia seseorang yang begitu jelek kesannya.
Sora menghela napas. Merasa sangat bersalah telah bertanya,
ia menggaruk belakang kepalanya.
“aku hanya bertanya. Jadi... yah, tidak usah dipikirkan
terlalu jauh.” Akunya sambil tersenyum kikuk.
Aku tahu. Aku tahu ia berbohong. Jika bukan begitu, lalu apa
arti tatapan tajamnya? Lalu apa arti pandangan matanya yang begitu sendu ketika
menyadari perilakuku yang sedang kalut? Sangat tidak adil jika hanya ia yang
bisa membaca perasaanku. Aku pun tahu, bagaimana ia merasa sedih dan sangat
marah, dan coba ia sembunyikan dari tatapan sendu dan tajam itu.
Aku menunduk dan meraih ujung jaketnya.
“itu sudah sangat lama. Memangnya ada ya seorang gadis yang
mencintai seorang pria sebegitu lamanya?”
Aku menengadahkan kepalaku. Memandang kedua matanya satu
persatu untuk meyakinkan bahwa semua perasaan kalut yang diasumsikan Sora
adalah salah. Semuanya salah. Bahkan aku pun berusaha mengatur cerita bahwa
selama ini aku tidak mengenal Kouu dan tidak pernah mencintainya sedikitpun
agar aku tampak lebih meyakinkan.
Ia tersenyum, kemudian mengacak-acak poniku.
“aku hanya bertanya. Bukan berarti aku juga berpikiran
seperti itu.” Jawabnya. “lagipula perempuan itu makhluk yang mudah jatuh cinta,
bukan?” lanjutnya dengan tertawa.
Aku hanya tersenyum dengan berusaha mengiyakan. Apapun itu,
aku iyakan saja. Meskipun apa yang ia nyatakan salah, tapi sejujurnya jatuh
cinta itu berbeda dengan perasaan lainnya. Mungkin dengan menyukai seseorang,
perasaan itu akan berlangsung singkat dan cepat. Namun yang aku tahu, jatuh
cinta adalah hal yang sangat membekas. Sukar hilang, meskipun partikel yang
mereka sebut-sebut dengan 'waktu' pun belum tentu bisa melenyapkannya secara
utuh.
“bagaimana dengan laki-laki? Mereka justru lebih mudah jatuh
cinta, bukan?” timpalku sambil menaikkan satu alisku.
“tentu saja.” Ucapnya dengan tertawa. “dan kali ini aku
jatuh cinta denganmu.” Lanjutnya sambil meletakkan jari telunjuk di depan
bibirnya, mengisyaratkan agar aku merahasiakan semuanya.
Syok dengan pernyataannya yang tiba-tiba, aku pun mengerjapkan
mataku berkali-kali, kemudian terkikik geli. Aku mendorong tubuhnya dengan agak
keras, tapi tubuhnya yang sigap itu tidak membuatnya terjatuh ke belakang dan
justru kembali berdiri tepat di depanku. Ia pernah menyatakan perasaannya padaku sebelumnya. tapi aku yang tidak terbiasa dengan sikapnya yang sedikit agresif terkadang membuatku tidak tahu harus bersikap apa.
“apa-apaan, sih?” kesalku sambil tersenyum malu dan
memandangnya dengan sedikit memelas. Sora hanya tertawa menyadari kebodohannya
sendiri. Tawa itu sangat lebar. Aku memandanginya yang sedang tertawa dan
berbicara. Entah apa yang sedang diucapkannya sekarang, aku hanya terfokus
dengan matanya yang menyipit karena tawanya. Aku pun secara tiba-tiba dapat
mencium aroma jeruk itu lagi. Membuatku kembali ingat pada hari itu. Hari di
mana aku dan dia pulang terlambat bersama. Sinar senja masuk melalui celah jendela
kelas, di saat itulah pria di depanku ini merenggut ciuman pertamaku. Aku tidak
melakukan perlawanan apapun karena lagi-lagi aku tidak tahu harus bersikap apa. Toh, aku juga tidak merasakan apapun. Yang kuingat
hanyalah aroma jeruk yang sama darinya. Ciuman pertamaku benar-benar tidak seperti apa yang aku pikirkan sebelumnya ataupun apa yang seharusnya aku rasakan saat itu juga. Namun lucunya, aku sama sekali tidak keberatan jika itu Sora.
“Sejujurnya aku membawa payung.” Aku Sora.
“Eh? Apa?!”
Aku terjengit kaget. Hanya itu yang bisa tertangkap
telingaku setelah tersadar dari lamunan akibat aroma jeruk miliknya. Membawa payung katanya? Aku
benar-benar tidak habis pikir.
“Kenapa tidak daritadi, sih?” ucapku kesal dan kemudian
menjewer telinga kirinya.
“iya, aduh, aduh! Hentikan!” keluhnya. Aku pun melepas
tanganku dan membiarkannya mengambil payung dari tasnya.
“Ayo pulang bersama-sama.” Ucapnya lirih. “Rumahku dekat. Jadi,
kita ke rumahku, lalu aku antarkan kau pulang.”
Sora menatapku lembut tepat di kedua bola mataku. Mata itu
kini terlihat sendu. Sendu yang berbeda. Aku tidak tahu apa artinya, tapi aku
terus mencoba memperhatikan kedua matanya satu persatu.
“Tenang saja. Aku antarkan naik mobil.” Lanjutnya dengan
senyum lebar.
Aku tertegun. Ini bukan karena ia mau mengantarkanku pulang di
hari hujan atau diantarkan dengan mobilnya. Melihat senyum itu, dan pandangan
lembut itu, aku terdiam. Aku hanya mengangguk pelan dan pandanganku masih
melekat di wajahnya.
Sekarang aku telah menyadari sesuatu. Setelah semua yang ia
lakukan, dan setelah apa yang ia coba tunjukkan padaku, aku telah menyadarinya.
Rupanya aku...
Aku tidak mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar