Jumat, 16 Agustus 2013

The Love Hidden Inside Of You

"Kamu kok gak ke kantin sama yang lain?"

Kalimat pertanyaan itu menghentikan lamunanku. Aku menegakkan posisi dudukku dari tiduran sambil melipat tangan di atas meja, menjadi duduk bertopang dagu.

"Enggak, ah" jawabku datar sambil menatap malas lawan bicaraku.

Jarinya yang lentik itu perlahan menarik sebuah kursi yang berada di depan bangkuku, kemudian memutarnya untuk berhadapan denganku.

"Aku juga malas ke kantin" ujarnya padaku.

Matanya yang terlihat sipit itu menatapku. Ditambah lagi ekspresinya yang begitu polos, hanya gadis ini yang mampu menarik perhatianku ketika pertama kali aku menjejakkan kakiku di SMA ini. Rambutnya yang berwarna hitam elegan terurai indah dengan dua buah jepitan yang menempel pada poni sebelah kanannya. Ditambah lagi rona merah yang terkadang hinggap di kedua pipi chubby-nya, mempermanis wajah polos naturalnya.

"Tapi setidaknya aku bawa bento" lanjutnya sambil menunjukkan sebuah tepak makan berwarna merah magenta, warna kesukannya. Ia meletakkan kotak bekalnya beserta sumpit kayu di atas mejaku.

Begitu ia membuka tutup kotak bekalnya, aku langsung saja mengambil sumpit tersebut dan menyambar satu ebi di dalamnya. Dengan gelagat santai, aku mengunyahnya pelan-pelan, seakan makanan itu memang disediakan untukku. Sesekali aku melirik sang pemilik kotak bekal dari sudut mataku, mencoba menerka-nerka ekspresinya.

Ya... Sudah dapat kuduga.

Ia menggembungkan pipinya kesal dengan sedikit hiasan rona merah karena menahan marah. Hahaha... Lucu sekali gadis satu ini.

"Kalau mau ngambil itu bilang dulu, dong!" ucapnya marah. Ia merebut sumpitnya dari tanganku, sedangkan aku hanya menahan tawa melihat tingkahnya.

"Enggak mau. Nanti kamu gak ngebolehin aku ngambil" sengitku.

Ia melotot sebal sambil menjauhkan kotak bekalnya dariku.

"Tentu saja! Ini kan bukan untukmu. Lagipula kemarin kamu gak mau kusuruh bawa bekal untuk tukar-tukaran dengan punyaku, sih"
Aku tertawa kecil mendengarnya. Aku memang malas sekali membawa barang banyak, apalagi bento seperti itu. Dari dulu aku lebih suka beli di kantin daripada bawa berat-berat.

Ia memakan bekalnya tepat di depanku. Entah apa maksudnya ia melakukan hal itu. Menggodaku, mungkin? Apa karena aku lapar dan malas ke kantin?

"Hmm... Kau menggodaku, ya" aku mendengung, hampir tak terdengar.

Sayangnya gadis di depanku ini sangat peka, sehingga ia tertawa mendengar ucapanku. Mungkin karena dia tahu kalau aku sadar dikerjai.

"Kok tahu.... hahaha"

Ia masih tertawa dan aku sangat suka melihatnya tertawa, melihatnya senyum, dan bahagia seperti ini. Inilah hal yang kutunggu di hari-hari sekolahku. Melihatnya tersenyum karena candaanku, ataupun melihat ia menggembungkan pipinya ketika kesal... Ahh, sehari saja aku tidak melihatnya, aku merasa hampa. Apalagi ketika mendengar suaranya yang entah sejak kapan terdengar merdu di telingaku.

Bukannya aku jadi melankolis atau... apalah itu namanya.

Aku hanya merasa bahwa semakin hari aku merasa hidupku mulai berwarna. Sedikit demi sedikit perubahan drastis terjadi di hidupku. Yah... Siapa lagi kalau bukan karena dia?
Jujur saja, aku tidak pernah berpikiran untuk memilikinya, apalagi meninggalkannya. Aku sudah cukup bahagia menjadi sahabatnya. Aku sudah cukup senang bisa menjadi tempat curhatnya. Walau terkadang akulah pihak yang merasakan sakit ketika ia berbicara tentang cinta. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau sahabatku ini memiliki orang yang disukai, dan tentunya lelaki itu bukanlah aku.
Dia memang sudah punya pacar, tapi... Cih! Kalau menurutku lebih tampan aku daripada lelaki itu. Kalau pun lelaki itu berani berbuat macam-macam dengannya, aku tidak segan-segan memberinya pelajaran.

Aku pernah sekali memberi tahu hal itu kepadanya, tapi ia malah memalingkan wajahnya dan pergi meninggalkanku

marah?

kesal?

kukejar lalu kupukul dia?

Tidak...

Aku tidak sanggup melihat sahabatku menangis karena aku menghajar orang yang disukainya tanpa alasan yang logis.

"Ya udah, nih. Aku kasih ebi lagi. Tapi ambil satu aja, ya?" tawar gadis itu sambil menyerahkan kotak bekalnya.

Aku hanya diam menatap kotak itu, lalu beralih ke matanya. Kemudian aku membuka sedikit mulutku sebagai tanda kalau aku minta disuap olehnya.

"e-eh?" gumamnya lirih. Ia gelagapan dan salah tingkah. Pipinya memerah menahan malu. Mungkin hal ini memang belum biasa ia lakukan terhadap seorang lelaki. Yah, syukurlah... Setidaknya akulah lelaki pertama yang disuapi olehnya.

Pelan-pelan ia menjepit ebi dengan sumpit kayunya, kemudian ia masukkan ke dalam mulutku. Aku bisa melihat tangannya yang bergetar dan wajahnya yang memerah. Ugh, manis sekali...

Begitu ia selesai menyuapku, aku langsung memalingkan wajahku sambil mengunyah. Untung saja dia tidak sempat melihat garis rona merah di wajahku.

Hei, aku ini masih manusia! Masih boleh kan merasa malu diperlakukan seperti itu oleh orang yang kusukai?

Dan entah kenapa rasa ebi-nya menjadi lebih enak. Hahaha... Perasaanku saja yang berlebihan.

"Enak..." ucapku lembut sambil menyentuh puncak kepalanya. Kemudian aku berdiri dan pergi menuju kantin untuk membeli air putih.

Selama perjalanan menuju kantin, aku merenungi diriku sendiri. Aku tidak percaya bila perasaan ini hanya sebatas suka. Ini pasti cinta, hanya saja aku butuh waktu untuk menyadarinya lebih, dan memahami hal itu. Apalagi sahabatku sendiri adalah cinta pertamaku.


Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar