Jumat, 27 November 2015

Apa Karena Kini Ia...

Sebenarnya aku tidak tega melihatnya seperti itu. Permainannya yang kacau menjadi bukti bahwa ia lelah bermimpi. Lihat saja dirinya. ia masih duduk termenung di kursi pianonya. Aku tak tahu kemana arah pandangan matanya. Toh sekalipun aku tahu, sama sekali tidak ada hal yang bisa dilihatnya.

Jemari itu kembali bermain di atas tuts piano. Aku yakin permainannya kali ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dan bahkan menurutku, kali ini ia bermain lebih buruk dari sebelumnya.

Ia berteriak, kemudian membanting tangannya ke atas tuts. Lagi-lagi ia menangis, dan aku sudah bosan mendengarnya. Dia sudah gila.

"Mengapa?"

Hanya itu yang terucap darinya. Mengapa, mengapa, dan mengapa. Apa ia tidak memiliki pertanyaan selain mengapa?

Aku mendekatinya. Ia pun berhenti menangis begitu mendengar langkah kakiku.

"Bisa kau hentikan?" ucapku datar. Sebisa mungkin kuungkapkan rasa bosanku melihat perlakuannya seminggu terakhir. "Kau ini sudah besar. Sadarlah!"

Ia meraba-raba sekelilingnya. Ketika ia menemukan keberadaanku, ia mendorongku.

"Kau yang seharusnya mengerti perasaanku!" bentaknya.

Hening. Entah mengapa aku benci suasana seperti ini. Ia kembali menangis, dan aku pun mendecih.

"Henti-"

"Kau ini saudara macam apa?"

Kini ia berdiri, menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ia tidak pernah terlihat semarah ini.

Ia menggenggam kedua bahuku. Aku tahu ia sedang menahan sebuah gejolak dalam dirinya. Dan aku tidak akan terkejut jika sebentar lagi rumah akan berantakan karena ulahnya. Yang aku ingat, ia adalah tipe orang yang suka memendam perasaan. Sekali ia marah, ia akan menumpahkan semuanya, tidak tanggung-tanggung. Jika emosi telah melahap akal sehatnya, bisa jadi akulah yang dibunuh setelah ini.

"Mengertilah..." ucapnya lirih.

Air matanya kembali menetes. Tatapan matanya akan selalu hampa walau akulah yang ingin dilihatnya. Sebenarnya aku tidak suka melihatnya menangis seperti ini sepanjang hari. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ia sibuk meratapi dirinya sendiri, tanpa mau kuberitahu akan hal baru yang harusnya ia temui.

"Tolong, mengertilah"

Seakan ia tahu apa yang ada di pikiranku, ia kembali mengucapkannya. Jujur saja, aku tidak bisa mengerti perasaanmu. Aku tidak bisa mengerti apa yang menjadi pikiranmu selama ini, dan aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiranmu sejauh ini dalam menghadapi cobaan yang menimpamu. Bagaimana aku bisa mengerti jika kau sendiri selalu menangis setiap hari? Kau pikir aku suka mendengarmu seperti itu? Kau pikir menangis bisa menyelesaikan masalah? Kau pikir dengan menangis kau bisa melihat kembali? Aku ingin kau tahu, ada banyak hal diluar sana yang tidak membutuhkan penglihatanmu. Ada hal yang hanya ingin didengar olehmu, bahkan hanya ingin dilihat oleh mata hatimu saja.

Ia terduduk di lantai sambil menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Lihatlah dirinya... Begitu kacau. Semangat hidup tak ada lagi dalam kobaran matanya. Dingin, kaku, dan mati. Mungkin itulah yang ada di pikirannya sekarang.

"Biarkan aku menangis."

Pernyataan konyol. Oh, ayolah! Sudah satu minggu lamanya aku membiarkanmu menangis seperti ini.

"Kau hanya membuang-buang waktu." jawabku seadanya. Ia pun berhenti menangis.

"Apa ini sikap orang yang optimis?" ucapku lagi. Aku yakin pertanyaanku kali ini benar-benar menohok hatinya.

Ia masih terdiam. Kali ini ia tak bisa menahan emosinya. Ingin rasanya ia menghancurkan semua yang ada di ruangan itu. Ingin rasanya ia melontarkan amarah dan sumpah serapah pada siapapun. Jangankan aku, ia pun tak tahu sebenarnya siapa yang salah. Ia tak tahu mengapa ia bisa semarah ini.

Apa ia marah kepada Tuhan?

Apa karena kini ia...

buta?





Transparent Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar