Rabu, 06 September 2017

Sampai Aku Jatuh

Dia, yang berdiri di depan pintu kelasnya sambil menggenggam sebuah handphone, aku mengenal pria itu. Tampak sesekali ia tersenyum ramah ketika salah satu teman menyapanya. Sejurus kemudian, ia pergi dari depan pintu kelasnya sambil terburu-buru, mengangkat telpon dengan wajah yang sedikit bingung. Entah apa yang ada dalam percakapan itu, namun ia tampak kewalahan. Mungkin ada suatu masalah yang harus ia selesaikan sehingga ia pergi dengan tergesa-gesa. Aku masih memandanginya dari kejauhan. Dengan mengeratkan pelukan pada buku di dadaku, aku tersenyum karena akhirnya aku mendapat kesempatan lagi untuk melihatnya. Meski hanya dari kejauhan, melihat punggungnya saja sudah membuatku bahagia. Apa karena punggung itu menyiratkan sesuatu? Sebab, semua orang akan berpikir bahwa ia pria yang tegar dan penuh semangat. Tapi, setiap kali aku melihat punggungnya, aku bisa melihat sebuah kerapuhan di sana. Dibalik kacamatanya yang bersinar itu, aku bisa melihat matanya yang sendu. Aku bisa melihat sebuah kelembutan. Dan bahkan, setiap kali ia tertawa lebar dengan menunjukkan deretan giginya, seketika aku menemukan alasan mengapa aku berada di sini. Semua itu tanpa sadar membuatku tersenyum sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Pria itu... sejauh mana aku akan jatuh cinta padanya?
Hanya dengan memperhatikan gerak-geriknya saja sudah membuat hariku jauh lebih bahagia.

Aku memperhatikan jam tanganku. Sontak mataku melebar ketika menyadari bahwa aku sudah hampir telat masuk ke kelas. Dengan langkah kaki yang dipercepat, aku segera menuju ke kelas manajemenku. Sebenarnya aku sudah mulai lelah dengan materi yang diberikan oleh dosenku belakangan ini. Tapi, berhubung setelah ini kami akan melewati ujian akhir sekolah, maka aku pikir apa boleh buat... Bertahan sedikit lagi saja tidak apa-apa, kan? Selama pelajaran berjalan pun aku hanya menangkap sekitar 50% dari materi yang disampaikan. Sisanya? Sudah jelas kan, aku pasti menggambar di buku sketsaku. Itu yang kulakukan jika aku mulai bosan dengan pelajaran.

Sesekali aku melihat ke arah luar jendela. Melihat betapa lebarnya langit yang terbentang, seakan aku bisa merasakan sebuah kebebasan di atas sana. Mungkin terbang itu menyenangkan. Tapi kamu tau apa yang lebih bisa membuatku terbang dibanding langit yang biru? Itu adalah mata coklatnya ketika kami berdua saling menatap. Kami berdua tersenyum, saling mengkhawatirkan, dan memang itulah yang membuat kami berdua merasa senang. Acara bulan Oktober yang lalu membuat kami saling bertanya satu sama lain, "Apakah kamu sampai di rumah dengan selamat?" Menemukan kekhawatiran itulah yang membuat perasaanku menghangat. Aku merasa ia memperhatikanku. Namun, sayang sekali tuan, aku lebih banyak memperhatikanmu daripada ketika kau memperhatikanku. Aku adalah seorang pengamat yang lebih baik darimu. Meski terkadang daya analisaku masih kurang kuat dari milikmu, tapi bukankah dengan begitu kita bisa saling melengkapi?

Ah, sial, aku mulai mengada-ada. 

Jam pelajaran selesai. Aku dengan semangat memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas, kemudian pergi menuju kantin. Sambil sedikit berharap ada kehadirannya di sana, aku berjalan dengan bersenandung kecil. Sesekali aku menutup mataku, merasakan semilir sejuknya angin di kota ini. Suatu saat aku akan menemukan alasan mengapa aku tidak bisa meninggalkan kota ini selain karena aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. 

"oi! Sini!" teriak salah satu temanku.

Mendengar teriakan itu aku langsung menoleh. Dan benar saja, itu memang temanku yang berusaha memanggilku untuk datang ke meja mereka. Aku pun menghampiri mereka dengan tersenyum riang. Tanpa sengaja aku melihat sosoknya di sana. Iya! Dia benar ada di sana! Aku tidak salah lihat. Ternyata dia sungguhan ada di sini.

"Baru beres kuliah ya?" Tanya salah satu temanku yang lain.

"Iya nih hehe" Aku tersenyum kikuk. Aku menemukan ia memperhatikanku, kemudian mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Aku ikut merasa malu ketika melihat tingkah malu-malunya itu. Pipiku memerah.

Selama teman-temanku mengobrol, aku hanya bisa diam dan sesekali ikut tertawa. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana jika ia ada di sini. Ia membuatku gugup. Hal yang menyenangkan itu ketika ia mendapat giliran bercerita. Caranya bercerita itu sungguh lucu. Ekspresinya, tertawanya, cara melawaknya, rasanya aku tidak ingin berkedip. Mataku tidak bisa melihat kemana-mana lagi. Iya, hanya terpaku pada seorang pria berjaket merah itu. Andai aku bisa memberitahumu bagaimana selama ini aku melihatmu. Apakah kamu akan mengerti perasaanku ini? Teman-temanku mungkin tidak tahu. Mereka hanya membuat kita berdua sebagai bahan ejekan. Dipasang-pasangkan tanpa memikirkan perasaan dua korbannya. Tapi mereka juga tidak tahu, kalau dibalik itu pun, aku memendam rasa pada pria yang mereka pasangkan denganku.

Pria itu tidak terlalu tampan menurutku. Bahkan biasa saja. Mungkin aku memang sedikit memberi nilai plus pada pria-pria berkacamata. Namun bukan berarti aku bisa menyukai siapapun pria yang berkacamata kan? Apalagi, sejujurnya aku lebih menyukainya ketika tanpa kacamata. Mengapa? Tentu saja karena aku bisa melihatnya dengan kondisi apa adanya, kondisi dimana aku bisa menatap matanya dengan jelas. Aku bisa memperhatikan matanya yang kecil, mata sendunya, atau bahkan mata lelahnya ketika baru saja menyelesaikan tugas dari dosen. Semakin aku mengetahui kebiasaannya, aku semakin jatuh padanya. Perasaan ingin merawat, melindungi, memperhatikannya, itu semua nyata. Melihatnya bisa tersenyum bahagia pun bisa membuatku ikut bahagia melihatnya. Senyum miliknya itu ajaib. Sungguh. Di mataku, ia yang biasa saja pun bisa mengalahkan tampannya aktor drama korea. Oke, bagian ini aku terlalu melebih-lebihkan. Tapi aku serius, dia tampan dengan dirinya yang apa adanya. Dan aku akan terus memperhatikannya, sampai aku jatuh pada palung hatiku yang terdalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar